Minggu, 16 Desember 2018

GUS DUR DAN PAPUA ; MEMBACA PENDEKATAN GUS DUR TERHADAP BANGSA PAPUA


Sumber foto; http://www.nu.or.id/post/read/67075/penduduk-papua-jangan-hina-gus-dur-nanti-kamu-saya-kasih-mati


Gus Dur Dan Papua ;
 Membaca Relasi Gus Dur Dengan Bangsa Papua
            Belakangan perbincangan mengenai Papua kembali mencuat di ranah publik. Hal itu  disebabkan meninggalnya sejumlah pekerja proyek Trans Papua di Nduga Papua. Pemerintah dengan sigap mengirimkan pasukan gabungan TNI-POLRI untuk mengevakuasi korban sekaligus menjalankan operasi militer. Media arus utama (mainstream) memberitakan bahwa beberapa korban dari unsur sipil dieksekusi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
            Setiap rezim pemerintahan mempunyai kebijakan dan pendekatan sendiri-sendiri dalam menghadapi kelompok-kelompok yang dianggap separatis, tak terkecuali Papua. Menarik melihat bagaimana Gus Dur kala menjadi Presiden dalam menjalin relasi dengan bangsa Papua.
Penulis teringat kala diskusi Gusdurian Semarang tentang “Gus Dur dan Papua” narasumbernya kala itu perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Semarang ia mengatakan bahwa bangsa Papua menghormati sosok Gus Dur bukan karena beliau membangun berbagai fasilitas infrastrukutur, tapi karena beliau membuka keran demokrasi selebar-lebarnya. Gus Dur memberikan izin bangsa Papua menggelar kongres Papua, mengizinkan bendera bintang kejora berkibar,  bangsa Papua juga dibebaskan memakai nama Papua, setelah sekian lama orde baru melarang dengan ancaman stigma Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan initimidasi kepada mereka.
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul “Solidaritas Kita Sebagai Bangsa” Gus Dur menilai munculnya OPM karena sebagian bangsa Papua telah muak disebabkan sumber daya alam di wilayah mereka di eksploitasi tanpa henti dan hasil kekayaan alamnya melayang ke pihak asing dan selgelintir elit pejabat. Tambang Emas oleh Freeport yang di eksploitasi bertahun-tahun tidak membawa dampak kesejahteraan bagi masyarakat Papua dan Pemerintah dijadikan alat pelindung pihak Freeport. Masyarakat Papua yang protes seketika mendapat tindakan represif dari aparat negara dan distigma OPM.
Bagi Gus Dur permasalahan Papua tidak bisa selesai “hanya” dengan kebijakan otonomi khusus (Otsus). Menurut Gus Dur dalam tulisan tersebut cara menyelesaikannya sangat mudah diteori tapi sulit dipraktik. Pertama perlu menegakkan ekonomi kerakyatan dan menerima setiap perbedaan untuk kebutuhan sendiri (bangsa Papua). Kedua penegakan ekonomi kerakyatan ditopang dengan sistem transportasi publik yang ekstensif dengan kombinasi mengupayakan menghilangkan pungutan-pungutan liar dengan tujuan meningkatkan daya beli masyakarakat Papua hingga  mampu menaikan level ekonomi bangsa Papua.
            Dari sekilas pandangan Gus Dur tentang OPM ada semacam celah bagi kita untuk mereinterpretrasi OPM yang selama ini banyak dipahami publik, yang lekat dengan label separatisme, pemberontak, pembuat onar, pengganggu keamanan dan stabilitas Negara, tidak cinta NKRI hingga konotasi negatif lainnya. OPM yang digambarkan Gus Dur merupakan sekelompok masyarakat yang terdzolimi,tercerabut hak asasi manusianya, diperkosa kedaulatan atas sumber daya alamnya. Singkatnya, OPM adalah kaum Mustad’afin.

            Dalam konteks ajaran Islam gusdur mengamalkan 5 prinsip universal yang harus dijaga setiap umat Islam. Dikenal dengan Alkulliyatul al –Khoms meliputi ; Hifdzu al-Diin, Hifdzu al- ‘Ird, Hifdzu al- Aql, Hifdzu an-Nasl, dan Hifdzu al –Mal.  Aceng dkk dalam “Islam Ahlusunnah wal Jamaah”  Gus Dur menafsirkan 5 nilai di atas dengan moderat dan relevan.
.           Seperti Hifdzu al- Aql menurut Gus Dur bukan hanya soal larangan minum khamr dsb, melainkan hak berfikir, berdiskusi,berpendapat berkumpul dst. Melarang Bangsa Papua melakukan aksi damai hingga diskusi sama dengan melanggar prinsip Hifdzu al- Aql. Kemudian Hifdzu al-Diin  menjaga agama dengan jihad, disini Gus Dur memaknai jihad dengan menjunjung tinggi anti kekerasan dan kebebasan beragama.
Hifdzu Al Ird wa An-nasl diartikan Gus Dur sebagai perlindungan atas hak yang berhubungan dengan expresi seksual dan reproduksi sedangkan Hifdzu al –Mal ditafsirkan sebagai hak atas jaminan sosial dan upah serta tempat tinggal yang layak. Dalam relasi Gus dur dengan bangsa papua, menurut hemat penulis membuka keran demokrasi dan menolak pendekatan militerisme merupakan bagian dari menegakkan lima nilai prinsip di atas.
            Problem Papua memang rawan dipahami secara parsial, oleh karenanya perlu membaca dengan utuh realitas sejarah Papua. Satu hal yang bisa ditekankan dari ikhtiyar Gus Dur dalam menghadapi bangsa Papua beliau sangat menolak pendekatan militerisme. Penyelesaian dengan pendekatan kekerasan militerisme hanya akan menimbulkan spiral kekerasan.
Disaat situasi di Nduga Papua masih mencekam tidak ada salahnya mencoba alternatif ala Gus Dur dengan memakai pendekatan kemanusiaan,kasih sayang dan jalan demokratis. Alih –alih mengupayakan pendekatan militerisme yang terbukti tidak menjawab akar masalah. Problem Papua tak akan pernah selesai selama Bangsa ini belum bisa memposisikan bangsa Papua secara manusiawi dan bermartabat. Wallahu a’lam.          
           









Share:

0 komentar:

Posting Komentar