Kamis, 09 Februari 2023

Sepasang Sahabat.

Sepasang Sahabat 

Dalam momen-momen tertentu, terkadang sahabat memliki arti lebih dalam hidup kita. Beberapa cerita mungkin hanya kuasa kita ceritakan pada sahabat. Ada satu dan lain hal yang membuat kita tak kuasa bercerita tentang getirnya kehidupan kepada orang terdekat kita secara biologis. Salah satu alasannya agar orang terdekat kita tak ikut menanggung apa yang kita rasakan, karena mungkin disaat kita sudah selesai dengan kesedihan, orang terdekat kita tak kunjung usai memikirkan kepedihan kita.

Beberapa tahun kebelakang ada banyak momen bersejarah dalam hidupku yang rasa-rasanya saat itu terbesit ingin kutulis untuk sekedar dikenang dalam catatan memori dikemudian hari. Mulai dari demam berdarah yang nyaris merenggut nyawaku hingga pencapain naik ke puncak Lawu. Toh itu semua nyatanya tak berakhir dalam catatan pendek blog ini. Alasannya pun beragam, dari malas, merasa tak punya cukup waktu luang hingga aku sendiri tak menganggap momen itu menarik untuk diceritakan. Singkat kata tak ada gairah menulis.

Sampai akhirnya dimomen aku ingin kembali menulis catatan pendek di blog ini. Seperti pemantik awal paragraf ini, catatan ini bertemakan sepasang sahabat.

Beberapa hari terakhir hatiku gelisah karena asmara. Perasaan yang aku sendiri lupa kapan mengalaminya, mungkin kisaran 2017, ah tapi itu tak penting. Bukannya patah hati ada untuk dilupakan?.

Saat ini aku merasa difase siap kembali berkenalan dengan perempuan, bukan untuk sekedar pacaran, tapi menikah. Ya menikah. Perasaan alamiah seorang pemuda yang 2 tahun lagi berumur 30 (cuk gelis bianget).

Satu waktu seorang sahabat memposting status whatsapp dengan beberapa temannya. Mataku tertuju pada salah satu diantaranya, aku tertarik, kuminta informasi akun instagramnya, tak butuh waktu lama untuk kami berkenalan dan dekat satu sama lain.

Sempat difase “mungkin ini orangnya” , kalau ditanya apa alasannya? satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan dengan pasti adalah kami sama-sama diumur yang “pantas” untuk menikah. Tapi ternyata takdir tak menghendaki ia menjadi lakon dalam kisah hidupku, melainkan sebatas figur antagonis semata.

Layaknya pria patah hati, aku sedih tapi sebatas wajar, tak ada alasan masuk akal untuk berlarut dalam kegalauan patah hati ini, mengingat diriku pernah menjalin hubungan empat tahun dan berakhir kandas.

Di tengah kegalauan itu aku mencoba berusaha sampai titik darah penghabisan agar cintaku tak begitu saja selesai, setidaknya kalaupun berakhir pahit aku telah melakukan usaha semampuku.

Hal paling ku ingat dari serangkaian usaha itu adalah saat diriku menelpon sepasang sahabat yang memperkenalkanku pada perempuan tadi, mulai curhat dari bagaiamana perasaanku hingga meminta masukan-masukan positif tentang masa depan hubunganku. 

Suatu hal yang belakangan kusadari bahwa itu hanya sebatas tindakan impulsif. Tapi aku juga punya alasan kuat mengapa melakukan tindakan tersebut. Aku ingin semuanya cepat selesai agar perasaan tak pasti saat itu tidak menganggu kegiatanku sehari-hari betapapun keputusan itu dalam konteks asmara pada akhirnya tak menguntungkan bagiku.  

Aku tak tahu apakah waktu itu sepasang sahabatku menganggap diriku impulsif? yang jelas aku sendiri membayangkan tak mudah menghadapi diriku sendiri. Mereka mendengarkan curhatanku dengan penuh antusias, memberikan masukan-masukan positif dan sesekali melempar joke agar aku tak “gila”.

Bagaimana cara mereka menghadapiku adalah alasan mengapa catatan ini kutulis. Kombinasi antara sabar – empati adalah sifat yang tepat untuk menggambarkan kedua sahabatku dalam menghadapiku.  

Perpaduan sifat yang tak kumiliki saat beberapa waktu lalu sahabatku yang lain mengungkapkan kegalauannya karena perempuan yang akan dinikahinya dijodohkan dengan lelaki lain. Diriku antusias mendengarkan tapi bukan dengan gestur empati melainkan hanya untuk menertawakan kisahnya. Karena hal tersebut beberapa hari terakhir hatiku diliputi rasa bersalah, beruntung hal itu segera terobati setelah mendengar bahwa sahabatku ini tunangan dengan wanita pujaannya.

Pada akhirnya sahabat akan terus punya tempat dalam hati kita. Dan soal jodoh, seperti halnya kematian, hanya Tuhan yang tahu. Wallahu a’lam.

 

 

Share:

Jumat, 06 Agustus 2021

Suwargi Langgeng; Ndan Sidu.


Subuh menjelang fajar menyingsing, kabar duka kembali menghampiri. “Pak Dari wafat” dikirim pukul 01.00 WIB dini hari oleh keponakan. Seketika imaji saya melayang pada sosok tubuh besar, tegap,kokoh bak patung dewa Yunani. Anak – anak muda NU di kampung memanggilnya “Ndan Sido”. 

Beberapa hari terakhir beliau memang isolasi mandiri, kurang tahu pasti dari mana beliau tertular, yang pasti hampir setiap RT di kampung kami ada yang sakit, kebanyakan dari mereka inisiatif isolasi mandiri. Ada yang sembuh, beberapa menghadap sang Khaliq.

Saya dan kawan-kawan Anshor sekitar seminggu yang lalu baru saja mengirimkan bantuan sembako dari NU ditujukan kepada warga yang isolasi mandiri, salah satunya beliau.

“matur suwun lo mas” frasa yang rasa-rasanya baru kemarin diucapkan beliau pada kami. Bahkan belum ada satu bulan rasanya beliau mengundang saya untuk ikut tahlilan 7 hari wafat adiknya, selang 21 hari kakaknya ikut menyusul “pulang”.

Pagi dinihari tadi Pak Dari menyusul kedua saudaranya. Bagi saya pak Dari sosok yang ramah. Kecintaannnya pada Kiai dan NU tiada tanding. Sepanjang hayatnya ia dedikasikan waktu fikiran dan tenaganya untu NU.

Darinya, terpancar aura ketulusan dalam berkhidmah untuk NU. 

Gus Dur dalam sebuah wawancara mengatakan “NU itu ya Kiai-Kiai kampung itu, orang yang berjuang tulus ngurus NU “. Kiai Kampung atau dan mereka akivis NU di kampung bagi Gus Dur barangkali relatif terhindar dari kepentingan politik praktis.

Penekanannya bukan pada aspek geografisnya (kampung) melainkan pada ketulusunnya dalam berjuang.

Saya melihat deskripsi Gus Dur di atas pada sosok pak Dari. Beliau adalah apa yang didefinisikan Gus Dur sebagai mereka yang berjuang dengan tulus untuk NU,lebih luas untuk kebaikan.

Suwargi langgerng Ndan Sidu, mohon kirim salam buat bapak. Alfaatihah.

Polorejo 7 Agustus 2021.

Share:

Selasa, 16 Maret 2021

Cumbri; Melawan Hasrat Berswafoto.

 




.

Ketika kemarin kami dihadapkan pilihan antara puncak cumbri dan mongkrang kami memang memilih cumbri, namun itu tak serta merta memalingkan kami sepenuhnya dari cumbri. Dalam rangka mengisi kekosongan malam minggu. Kami memutuskan untuk mendaki cumbri. Sebuah bukit yang terletak diantara perbatasan wilayah Ponorogo-Wonogiri dengan ketinggian kurang dari 1000 Mdpl.

Awalnya kami berencana ber-enam. Namun karena sebagian berhalangan, akhirnya tiga orang tersisa, aku, Huda dan Rizki. Berbekal pengalaman mendaki dua bukit; Pringgitan dan Mongkrang kali ini kami lebih rileks dalam persiapan. “ kita Tek-tokan (baca;naik puncak langsung turun tanpa bermalam, istilah populer para pendaki) aja ya” aku menawarkan opsi dan yang lain setuju tanpa mendebat.

Awalnya kami merencanakan mulai naik sekitar pukul 02.00 wib dinihari untuk menghindari menunggu sunrise terlalu lama. Namun kami menyadari potensi malas berangkat pada jam-jam tersebut. Pada praktiknya saya dan Rizki berangkat jam 20.00 WIB menuju kediaman Huda, rumah paling dekat menuju Pager Ukir tempat pos pendakian.

Sebenarnya ada dua jalur pendakian, pertama Pager Ukir Sampung masuk wilayah Ponorogo Jawa Timur, Kedua Purwantoro masuk wilayah Wonogiri Jawa Tengah. Yang pertama memiliki jarak tempuh lebih pendek daripada kedua.

Setelah sampai di kediaman Huda kami packing mempersiapkan konsumsi dan peralatan  secukupnya. Sambil menuggu waktu lebih larut kami berbincang santai.

Takut makin lama makin malas gerak, sekitar pukul 23.00 kami memutuskan jalan, di perjalanan menuju Pager Ukir kami menjumpai jalan buntu dan rusak yang hampir mustahil dilewati, untungnya Rizki yang  sudah lebih dari sekali ke Cumbri punya beberapa opsi jalan. Yang terakhir jalannya beraspal mulus. Dalam benakku bertanya “ kenapa tidak dari tadi lewat sini Riz? Hmmm”.

Kami mulai naik sekitar pukul 23.30 Wib, naik dengan pelan sambil sesekali istirahat. Kami mencoba sesantai mungkin agar sampai puncak sudah dinihari.  Pendakian dipimpin Rizki sang leader, dia yang paling paham soal seluk beluk pendakian. Di tengah aku, orang yang paling rentan fisiknya dan terakhir Huda sang sweeper, selain yang paling besar diantara kami, dia juga paling sabar, terbukti ketika pendakian di Mongkrang silam.

Dalam perajalanan tidak ada kendala berarti, aku yang biasanya mengalami encok di punggung kali ini tak merasakannya, hanya sesekali capek, tapi tak seberapa. Huda yang mulanya mengeluh sakit perut seiring berjalannya waktu membaik. 

Sekitar satu jam kami mendaki tibalah kami di punggungan cumbri, relatif  cepat, aku pribadi tak menyangka secepat itu. Di punggungan kami beristrirahat lumayan lama. Hingga sekitar pukul 02.00 wib, kami lanjutkan naik ke puncak cumbri, puncaknya menyerupai bebatuan besar bersandingan, hampir tak ditemukan dataran yang cukup untuk digunakan mendirikan tenda, para pendaki mendirikan tenda di punggungan itupun tak benar-benar rata. Kami sendiri beristirahat dan masak – masak ditempat yang kami anggap paling ideal.

Selesai menikmati hidangan kopi, sosis dan mi instan, rasa kantuk menyerangku. Aku tertidur tapi tak pulas, begitupun Huda ia tidur dengan posisi duduk sedangkan Rizki terjaga dengan ditemani gawainya.

Jelas kami berdua tak pulas, selain tidak ada bidang datar untuk tidur, kami tak bawa tenda sedangkan angin berhembus sangat kencang menembus pori-pori kulit kami. Sesekali aku bangun dan reflek minta turun pada Rizki, ia menyanggupi dengan syarat permainan mobile legend-nya kelar.

Aku menunggunya sampai tak terasa kembali tertidur lagi, bangun kedua kalinya dengan permintaan  yang sama, kali ini Huda menimpali dengan setengah sadar “ di sini aja dulu” pintanya dengan masih di posisi tidur yang sama; yakni duduk.

Rasa-rasanya aku tak kuat menahan dingin sampai waktu sunrise muncul, sedangkan disitulah momen paling indah untuk berswafoto. Apalagi yang diharapkan dari mendaki selain itu?. aku sempat khawatir mereka kecewa.

Namun tak lama berselang Huda juga mengajak turun. “ayo turung ngapain lama-lama”. Akhirnya kami berkemas dan sekali dua kali mengambil gambar, walaupun ala kadarnya karena kondisi masih gelap.

Saat itu nampaknya kita satu persepsi bahwa hal terindah dari naik gunung adalah proses perjalanan itu sendiri. Urusan foto bukanlah prioritas utama. Jika memungkinkan kita abadikan, jika tidak, biarkan Tuhan yang mengabadikan. Pagi itu kami berhasil mengalahkan hasrat berswafoto.

Share:

Kamis, 18 Februari 2021

Mongkrang 2194 Mdpl: Pengalaman Pertama Kali Muncak.

Aku masih ingat betul tanggal 2 Januari malam, salah satu dari kami memberi kode tipis dengan intonasi setengah bertanya “bar iki gas lawu wani po ra ki?” beberapa detik tak ada suara,hanya angin kencang bukit Pringgitan yang terde
ngar. Nampaknya 5 pemuda pecinta alam amatiran ini tahu, modal semangat saja tidak cukup untuk menyusuri gunung Lawu, apalagi salah satu dari 5 pemuda itu yang tak lain dan tak bukan adalah saya baru saja bertungkus lumus jatuh bangun untuk mencapai puncak pringgitan yang tingginya hanya sekitar 600 Mdpl.

sek golek gunung sing rodok cendek gawe pemanasan lur”jawabku setengah berasalan.

“cumbri opo mongkrang?, kui pilihane” Rizki memberi opsi. Tak butuh debat panjang untuk memilih Mongkrang. Selain satupun dari kami belum pernah kesana, mongkrang konon menjanjikan pemandangan lawu yang menjadi tujuan akhir kami.

Tanggal 6 Februari kami sepakat untuk memberi notifikasi pada gawai masing-masing sebagai tanda hari itu adalah hari dimana kami memulai perjalanan. Satu anggota bernama Is menggenapi satu tim kami. Aku,Is, Huda, Rizki, Angga, Khoiron.

Seminggu menjelang pemberangkatan hampir setiap obrolan WA grup selalu mengingatkan tentang persiapan muncak. Kalau dalam istilah jawa Wis koyok iyok yok o!.

Hari yang ditunggu-tunggu datang, kami memulai perjalanan, sampai camp registrasi kami pukul 20.00 Wib. Sebelum sampai camp kami menyempatkan mengisi perut diwarung terdekat dan salat maghrib – isya.

Perjalanan kami diiringi dua perempuan yang kebetulan sudah hafal jalur ini. Di awal perjalanan saya nampak tidak ada kendala, tidak seperti sebelumnya yang sedikit dikit  minta istirahat. Sampai pada separuh lebih perjalanan tiba-tiba saya merasa mual seperti akan mengeluarkan sesuatu dan sooooorrrr muntahan tak bisa lagi dihindari. Ingatan saya melayang pada salah satu kawan di Semarang yang pernah cerita bahwa pertama kali ia muncak ia mengalami muntah diperjalanan, tapi setelah itu badan enteng katanya.

Hal itu juga yang saya rasakan, badan langsung terasa enteng meskipun faktor pergantian tas ransel ringan juga mempengaruhi.

Setelah perjalanan sekitar dua jam, puncak akhirnya kami gapai, sangat capek dan sesekali nafas tersengal. Namun recovery saya terhitung cepat, itu dibuktikan dengan saya langsung ikut bantu mendirikan tenda. Tidak demikian dengan Khoiron, dari awal ia nampak kurang sehat, sakit memang sudah ia idap 2 hari sebelum muncak. Walhasil setelah tenda berdiri ia langsung tidur

Kami segera masak sosis dan menyeduh kopi sambil sesekali menggunjingkan keadaan. Saya orang kedua yang tidur setelah Khoiron. 

Sayup-sayup pengajian gus Baha terdengar dari mp3 salah satu kawan, ketika pengajian berhenti saya kembali terjaga. Seakan berhentinya lantunan ceramah tadi seperti selimut yang ditarik dari balutan tubuhku.

Aku bangkit, begitupun Angga yang tidur disampingku “ jam piro iki?” tanyanya.

 

sek jam telu Ngga” jawabku.”Kawit mau kok jam telu wae” keluh Angga sambil menunjukkan ekspresi menggigil yang tak bisa ia sembunyikan.

turuo sek am telu ki”  tukas Riski. “la iyo” Huda menimpali dengan ekspresi terganggu atas kegaduhan kami berdua.

Angga terus mengajakku bercanda sambil merapartkan dada dan lututnya, tangannya melingkar mengitari kedua kakinya yang ia tekuk rapat-rapat. Sementara kami bertiga aku, Huda dan Riski tetap dalam posisi berbaring.

Angin kencang disertai embun deras memang mewarnai malam kami, tenda kami basah, air sedikit meresap. Pakaian yang kami memang tak sampai basah namun dingin terasa masuk hingga ke sendi-sendi tulang.

mapano kene lo Ngga” pintaku pada Angga untuk segera tidur kembali, ia tidak mau dengan alasan tepat di atas alas tidurnya terdapat akar pohon timbul ke atas permukaan tanah yang mengngganjal punggungnya. Ada ada saja batinku.

Setelah itu tiba-tiba aku terbangun lagi, mendapati langit mulai cerah, namun kabut sangat tebal. Ekspektasi pemandangan lawu yang kami impikan jauh-jauh hari tak tampak. Harapan itu sirna, meskipun kabut sempat tersibak untuk menujukkan indahnya pemandangan lawu yang indah pada kami, nyatanya itu tak berlangsung lama dan tidak sempat mengabadikannya. Biarlah mata dan memori ini yang mengabadikan untuk sesekali kami ingat dikemudian hari.

Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB meskipun registrasi kami sampai pukul 10.00 wib kami melihat para pedndaki di sekliling kami mulai mengemas tenda kabutpun menunjukkan tidak ada tanda – tanda untuk hilang. Akhirnya kami turut bergegas, bareng bareng turun.

Lima menit perjalanan, turun gerimis dengan intensitas sedang mengiringi kami, aku dan Huda sempat berbincang bahwa gerimis ini efek dari kabut tebal. Tak berselang lama ternyata dugaan kami salah.

Tanpa aba-aba hujan turun dengan sangat lebat, kami bergegas mengamankan gawai, tas serta memakai mantel, awalnya aku tak yakin kami turun dengan keadaan hujan deras ditambah Khoiron sudah tiga kali terjatuh. Akhirnya Is salah satu kawan paling berpengalaman perihal naik gunung meykainkan bahwa kami bisa turun dengan menapaki aliran air untuk menghindari medan licin. Setapak demi setapak kami melewati medan curam.

Ditengah perjalanan badai angin berhembus kencan kami meutuskan istirahat bersamaan dengan rombongan lain. Setelah  dirasa cukup aman, kami melanutkan perjalanan hingga tak terasa pos regitstrasi di depan mata. Di depan gerbang kami sempatkan berswafoto. Hujan saat itu masih lumayan deras dan kami memutuskan langsung pulang. Sekian   

 

Share:

Jumat, 11 Desember 2020

Tentang Hilangnya Cita Rasa Pedas Dari Masakan Ibu.

 




Sampai detik ini saya masih menganggap masakan ibu merupakan masakan paling enak. Barangkali klaim saya jamak dirasakan oleh anak pada ibunya. Sosok yang memasakkan kita dari kecil sehingga  cita rasanya sudah ngapal di lidah kita sebagai anak atau kita bisa request sesuka hati hingga ibu kita juga hapal selera anaknya.

Catatan ini saya buat setelah belakangan saya sadar ada pergeseran cita rasa masakan ibu terhadap apapun yang ia masak. Beliau sudah tak mau lagi atau lebih tepatnya tidak kuat memakan makanan pedas. Ibu punya riwayat mag, beberapa kali sakitnya kambuh karena tak sengaja kemasukan makanan pedas, setidaknya  itu penyebab yang ia yakini. Paling mutakhir malam ke-dua puluh delapan bulan puasa tahun  kemarin. Setelah selesai membaca Alquran sebuah syukuran kecil dilaksanakan jamaah ibu-ibu musholla RT. Acaranya makan-makan dengan menu tumpeng serta lalapan hasil olahan-olahan ibu-ibu jamaah sendiri, teknisnya dibagi tugas sesuai kesepakatan mereka . Mereka mengaji sendiri, syukuran juga masak sendiri hal yang nampaknya terlalu merepotkan untuk kaum bapak-bapak.

Tepat diacara syukuran kecil-kecilan itulah ibu tak sengaja kebagian lalapan krawu pedas. Besok malamnya beliau tak kuasa menahan rasa sakit sampai hari lebaran kupat. kurun waktu yang tidak sebentar sementara ibu memlih menahan rasa sakit di rumah dengan minum obat seadanya dari mantri desa. Kami anaknya sebenarnya tak kurang-kurang membujuknya untuk bersedia dirujuk ke rumah sakit, hingga pada suatu malam ia tak kuat menahan sakit. Rasa sakit luar biasa yang akhirnya meruntuhkan pendiriannya. Kami sudah siap-siap pergi ke rumah sakit, jam dinding menunjukan pukul 23.00 WIB. Saat motor sudah siap dinyalakan tiba-tiba ibu bilang ingin buang air besar, setelah selesai buang air besar ia mengaku sudah baikan dan kamipun tak jadi ke rumah sakit.

Esoknya ibu mengaku sudah sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa, ya secepat itu. Semalam mengeluh luar biasa, paginya mengaku sembuh. Saya sejujurnya tidak benar-benar bisa membedakan beliau sembuh dalam arti yang sesungguhnya atau hanya ingin semua terlihat baik-baik saja. Yang jelas setelah itu keadaan memang baik-baik saja. Namun tidak untuk cita rasa masakan ibu. Akumulasi kambuhnya mag ibu membuatnya seperti tak lagi bisa membedakan mana masakan pedas dan tidak.

Ibuku sama seperti ibu pada umumnya yang selalu mengerti apa cita rasa masakan anaknya. Saya suka masakan asin-pedas. Ibuku tahu itu sehingga setiap masakan yang ia hidangkan untuk-ku sudah pasti memenuhi syarat di atas. Beda cerita dengan almarhum bapak yang sudah lama juga tak makan pedas, kalau bapak perkaranya penyakit lambung. Ibu dan bapak punya satu cita rasa masakan yang sama, sama-sama anti pedas,intensitas memasakkan hidangan untuk bapak jauh lebih tinggi daripada saya yang sejak kecil merantau. Barangkali perkara terakhir juga punya pengaruh.

Setelah bapak meninggal dan saya menetap di rumah, hidangan ibu perlahan mulai saya rasakan berubah. Saya sendiri kurang tahu kapan tepatnya ibu tak lagi “bisa” masak masakan pedas. Hanya aspek asin-manis yang tersisa, rasa pedas sudah hilang sama sekali. Terakhir beliau masak rica-rica

“kali ini rica-ricanya pedas banget lo, coba cicipin kurang pedas nggak?”  seloroh ibu setengah mengingatkan. Peringatan yang rasa-rasanya sudah sering ibu sampaikan dan seperti biasa setelah mencicipi satu irisan daging saya tak merasakan sama sekali rasa pedas, hanya asin dan manis khas bumbu rempah-rempah. Ibu tahu masakannya kurang pedas atau bahkan tak pedas sama sekali setelah melihat ekspresi wajah anaknya yang menandakan raut muka datar.

“padahal udah tak tambahi mrica dan lombok dua kali lipat dari biasanya, tak cicipi pedas banget”. Klaimnya dengan penuh semangat. Klaim soal hilangnya aspek pedas dalam maskan ibu ini juga diakui oleh sanak famili, mulai bude,bulek hingga keponakan.

Sesungguhnya catatan ini dibuat bukan untuk menggugat masakan ibu (naudzubillah) tapi sebaliknya seperti sudah saya tegaskan pada kalimat pertama tulisan ini, masakan ibu tetap tak tergantikan. Terkadang banyak aspek untuk menilai suatu masakan termasuk hubungan biologis, memang subjektif sih tapi apa yang salah dari penilaian subkjektif-ku? Toh tidak ada yang dirugikan. Ibu adalah figur yang memasakkan dan menyuapi anaknya hingga mampu mandiri makan dan masak sendiri. Ia tak tergantikan. Semandiri apapun sang anak, ibu tetap memasakkan anaknya sebagi manifestasi kasih sayangnya tanpa batas.

Mengenai cita rasa pedas yang hilang dari masakan ibu, saya cukup mandiri untuk sekedar membuat sambel plelek.

           

                                                                                                Polorejo, 11 Desember 2020

Share:

Sabtu, 29 Februari 2020

Menjadi Pecundang di Pare


Hari ini aku memutuskan untuk pulang kerumah, tidak melanjutkan  studiku di Pare. Keputusan yang mungkin orang menilainya tergesa-gesa, gegabah serta tanpa pertimbangan  matang. Apapun itu, inilah  keputusanku. Diluar diriku pribadi, tidak ada yang salah. Fakta-fakta bahwa aku terlalu malas, tidak cukup effort untuk meng-improve skill bahasaku adalah sedikit dari sekian alasan mengapa aku harus segera pulang ditengah periode belajar yang masih tersisa tiga minggu.
Aku belajar disini ditopang keuangan keluarga, lebih tepatnya ibuku selepas kepergian bapak.  Sesuatu yang tak pantas ditengah kemalasan belajarku. Ditengah usiaku yang tak lagi ABG. Terkadang motivasi, nasihat, masukan-masukan dari kawan dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.
Tapi kali ini aku tidak memerlukan itu. sudah terlampau banyak masukan berharga dari kawan-kawan, dari orang-orang yang menyayangiku. Namun faktanya sampai detik ini tak sedikitpun terejawentahkan. Namun setidaknya semua itu masih tersimpan di memori dan sanubari hati.
Aku harus menghukum diriku sendiri, pulang kerumah mengais ekonomi secara mandiri sambil menemani ibu di rumah. Kupikir sudah terlalu lama aku merantau. Selepas tamat SD hidup di pesantren hingga tamat MA setelah itu lima tahun kuliah di Semarang. Selama itu pula aku “nyusu” orang tua.
Sementara aku harus mengubur mimpi-mimpiku untuk menempuh magister hingga menjadi dosen. Seakan pribadi ini membentak diri sendiri. “jangan bermimpi muluk-muluk sebelum kau bisa merubah dirimu menjadi lebih disiplin, mengaplikasikan nasehat-nasehat kecil yang kau anggap klise nan memuakkan itu”.
Walau bagaimanapun Pare mengajarkanku banyak hal, setidaknya orang-orang yang bertahan disini adalah orang-orang yang benar-benar fight. Tidak sepertiku yang memilih menjadi pecundang. Namun dilubuk hati yang paling dalam aku masih berharap dapat terus belajar, mengulik sekecil apapun itu tentang bahasa inggris, khususnya membaca dan mendengar.
Ibu, Bapak maafkan anakmu yang tak bisa menepati janjimu untuk sungguh-sungguh belajar di Pare. Anakmu sadar seribu kali ampunan dan sujud tak akan menghapus dosa ini. Anakmu akan terus berusaha berproses buk, pak. Menjadi manusia yang ibu, bapak inginkan dengan caranya sendiri. Anakmu hanya butuh restumu. Sekali lagi maaf.   
Akhirnya kali ini aku memilih kerasnya kehidupan untuk menasehatiku agar menjadi pribadi lebih baik.
Pare, 1 Maret 2010.
Pecundang


Share:

Kamis, 21 November 2019

Pepeling Pare!

Catatan ini kubuat sehari sebelum aku bertolak ke Pare Kediri. Tepatnya setelah ditanya orang tua perihal finansial selama di sana. Aku jawab sekenanya-apa adanya bahwa aku tidak punya tabungan, bapak menimpali dengan kalimat kekecewaan, dikiranya pasca aku kuliah dan menetap 2-3 bulanan di Semarang untuk menabung. Padahal jujur untuk sekedar bertahan hidup-pun uang hasil les privat itu tidak cukup.
Aku memutuskan “hijrah” ke Pare Kediri untuk les bahasa inggris pasca kuliah S1 ku selesai. 


Ditengah kerentanan hidup,insecurity, tekanan untuk segera bekerja dari keluarga pergi ke Pare mungkin bukan pilihan yang menarirk untuk saat ini, walaupun jika ditanya aku mau jadi apa dan kemana pasca les, aku belum nemu juga jawaban pastinya.
Tapi setidaknya harapanku pasca di Pare aku bisa lebih ringan dan punya kemampuan “lebih” dalam mengakses dan memahami teks-teks inggris, syukur –syukur bisa dapat beasiswa kuliah. Bagaimana jika tidak dapat beasiswa? Ya aku akan cari pekerjaan seadanya aku, akan menabung dan kuliah di kampus dalam kota. Itu saja? iya, sebuah harapan yang sangat tidak financialable ditengah situasi di atas.
Tapi yang jelas catatan pendek ini kubuat untuk kepentingan jangka pendek. Yakni perihal keseriusanku belajar bahasa inggris di Pare. Beberapa faktor yang membuatku harus serius  tekun dan sungguh-sungguh belajar bahasa inggris.

Uang Dari Orang Tua


Biaya selama di Pare tidak murah dan aku bukan orang kaya, maka dari itu selagi orang tuaku masih sanggup membiayaiku, aku harus sunggu h-sungguh dosa besar jika aku tidak disiplin. Ingat aku bukan anak kecil lagi, sebenarnya bukan saatnya lagi  aku minta uang makan ke orang tua! Jadi untuk kali ini jangan sia-siakan kesempatan imi.

OrangTua Sakit

Jika aku mulai malas ,ingatlah bagaimana penderitaan bapakmu menahan sakit, bagaimana ibuku seharian penuh menunggu dan melayani ayahku. Tidak ada alasan buat aku untuk santai-santai dan bermalas-malasan.
  

Pilihanmu Sendiri

Walaupun baligh sudah lama, baru dalam kesempatan ini aku benar-benar memilih dengan pertimbangan serius keputusan pergi ke Pare. Dahulu ketika mengambil jurusan Falak. Tidak ada pertimbangan mendalam memilih jurusan ini selain “ingin beda aja” dari kebanyakan yang lain. Artinya aku berani memilih maka aku harus mempertanggung jawabkan. Dengan apa? Dengan belajar sungguh-sungguh dan tekun!.

Tidak perlu alasan banyak! Catatan ini cukup untuk dibaca sewaktu-waktu jikalau malas mulai melanda. Semoga Tuhan dan semesta merestui. Aamiin.



Share:

Selasa, 15 Oktober 2019

Menolak Bualan Moralis Tentang Film Joker.

joker-film-controversy-discussion

Akibat terlalu sering melihat  story whatsapp tentang film joker lama lama membuatku muak tapi sekaligus tertarik menonton filmnya. Muak karena pesan story wahtsapp yang terlampau moralis. “kejahatan berasal dari kebaikan yang........” intensitas pesan itu muncul sama seringnya dengan lagu entah apa yang merasukimu . Seakan setiap orang  pegang gawai pernah mendengarkan barang sekelebat lagu itu.

Intensitas itu ditambah obrolan dilingkaran teman (yang sudah nonton) membuatku ingin membuktikan apakah benar bualan moralis tentang Joker tersebut? ( dasar! memangg iklan bisa datang dari lini arah kehidupan manapun).

 Setelah mendapat info bioskop termurah se-Semarang, saya bersama kawan-kawanku bergegas untuk beli tiketnya, sampai bioskop pukul 19.00 WIB dapat jadwal nonton pukul 21.00 WIB
Dua jam yang cukup lama untuk ukuran orang penasaran. Di awal film, kondisi tubuh kurus kerontang tokoh utama Arthur Fleck /Joker yang diperankan Joaquin Phenix, adegan pengroyokan, hingga pekerjaan “sialan”, menjadi badut dan keseharian merawat ibunya cukup  membuatku dan
mungkin sebagian penonton  berempati.

Namun kesemuanya berubah mencekam ketika “keadaan memaksanya” untuk berbuat kekerasan terhadap orang –orang disekelilingnya.
Berbekal pistol belum lunas dari kawannya, Arthur yang dari awal selalu merasakan dan “menerima” kekalahan-kekalahan dalam hidupnya. Berubah melawan apapun dan siapapun yang merasa menindas tubuh dan pikirannya. Membunuh orang-orang “menjengkelkan” disekelilingnya.

Apa “keadaan memaksa” itu?


Sejak tayang pertama kali film joker telah menimbulkan pro-kontra. Ada semacam kekhawatiran bahwa film itu dapat melegitimasi kekerasan. Setelah nonton film tersebut paginya saya dikirimi video dari youtube oleh seorang kawan tentang statement psikolog, ia menjelaskan efek negatif dibawah alam sadar setelah nonton film joker, lagi lagi seputar dorongan legitimasi untuk melakukan kekerasan.

Selain hal diatas banyak tulisan-tulisan pendek yang berseliweran di lini media massa bahwa kekerasan yang  dilakukan oleh Joker karena ia mengidap skyzofrenia semata. Seakan ingin mengatakan “kalau orang waras tidak akan kok melakukan kekeresan dan kejahatan sedemikian keji seperti dilakukan Joker”.

Di akun Intagram @narasinewsroom terdapat salah konten menarik tentang Joker, akun itu memberi pertanyaaan kira-kira faktor apakah yang mebuat Arthur Fleck menderita skyzofrenia. Apakah faktor trauma kekerasan masa kecil dari ibunya? Ataukah faktor kondisi ekonomi keluarganya dan ketimpangan sosial ekonomi kota Gotham yang tak memihak pada orang sepertinya? Kalau boleh saya tambahi, jika jawabannya keduanya, mana faktor determinan diantara keduanya?.

Bagiku keduanya saling mempengaruhi, namun faktor determinannya adalah faktor ketimpangan sosial Gotham, secara kelas, Arthur adalah kelas proletariat, ia hanya mengandalkan jasanya untuk dipekerjakan sebagai badut, hidup di sebuah apartemen kecil dengan tanggungan ibunya yang juga terkena skyzofrenia.

Hidup sehari-hari dengan penuh kerentanan dan ketertindasan. Himpitan ekonomi ditengah sistem kapitalisme membuat orang –orang seperti Arthur hidup segan mati tak mau. Untuk sekedar hidup subsisten pun susah.

Disatu sisi negara gagal hadir menyelamatkan hidupnya, alih-alih menjadi mesias, negara memotong akses layanan kesehatan sosial yang membuat Arthur tak lagi bisa memeriksakan kesehatan mentalnya.

Dalam konsep webberian tentang  life chance Arthur merupakan insan yang tidak beruntung tidak lahir dari kelas aristokrat ataupun kapitalis kapitalis birokrat dengan segudang kekayaan dan privilese sehingga penyakitnya bisa segera diobati dengan penanganan yang optimal. Ya, ia tidak bisa memilih ia lahir darimana. Solusi orang sepertinya ialah bekerja dan berusaha semaksimal mungkin hingga waktu menjawab masa depannya lebih cerah.

Namun dalam konsep Marxian, “hidup adalah tentang perjuangan kelas” arthur adalah kelas proletar. Ia adalah element paling potensial untuk melakukan perlawanan mengorganisir kawan-kawannya untuk menumbangkan tirani borjuis dan merebut alat produksi.

Dibagian akhir film statementnya tentang bagaimana kejahatan struktural elit-elit negara di acara talk show salah satu stasiun televisi memantik radikalisme massa aksi yang lebih dulu masif dilakukan di penjuru Gotham. Ia berkelakar dengan sedikit senyum sinis “ Jika kalian tak peduli pada kemiskinan, biarkan aku memilih tak peduli pada pembunuhan”. Tepat di titik itu saya merasa ia mengucapkan dengan 100%  kesadarannya. Anda boleh berdebat setuju atau tidak soal statementnya.

Bagi saya Arthur adalah martir perlawanan itu sendiri. Ia adalah representasi riil kondisi masyarakat termajinalkan yang tak diperhatikan pemangku kebijakan berkomposisikan para olighark. Apakah kita yang mendaku waras dan sehat secara mental ini harus membutuhkan sosok Arthur si pengidap penyakit mental itu untuk mengerti bahwa sistem kapitalisme ini sudah sedemikian destruktif?

Menyimpulkan bahwa kekerasan yang dilakukan Joker semata hanya soal penyakit skyzofrenia  sama halnya menyimpulkan pelaku penusukan Wiranto terpapar paham radikalisme (baca: islam ultrakonservatif) semata. Sama-sama simplikatif. Jika pun benar, kita seringkali acuh tak acuh mengenai faktor determinan apa yang membuatnya demikian.
Wallahu a’lam.


Share:

Rabu, 11 September 2019

Mas Udin dan Aktivisme



Dalam lawatanku ke Jogja kali ini, tak ada dalam benakku untuk sekedar mampir atau berkunjung ke tempat –tempat wisata, bahkan sekedar ke Malioboro pun. Pengorbanan meninggalkan peluang pekerjaan dengan gaji UMR harus kuganti dengan semangat antusiasme tinggi fokus mengikuti sekolah agraria di UGM ini pikirku.

Dan benar saja! tidak rugi mengikuti sekolah agraria ini. Riset agraria perspektif analisis kelas yang selama ini sebenarnya sudah akrab ditelinga. Namun belum begitu ku mengerti apa itu subtansinya, akhirnya dikesempatan ini disampaikan dengan sangat baik oleh bung Habibi.

Mulai dari latar belakang pentingnya mengapa menggunakan perspektif ini hingga langkah –langkah praksisnya. Perpespektif yang beberapa dekade silam digunakan oleh para pendahulu kita dalam risetnya yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI). Riset yang menghasilkan klasifikasi tujuh setan desa dan juga alat pengorganisiran pendudukan lahan karena lambatnya proses land reform hingga akhirnya “selesai” setelah peristiwa pembantaian massal 65.

Setelah 3 hari yang menguras fisik dan fikiran. Malam hari setelah sesi terakhir ,aku putuskan untuk langsung pulang. Namun karena ada permintaan dari Adet (teman boncengan) dan beberapa kawan dari Jombang serta Jogja kami memutuskan  untuk mampir Insist. Dengan agak berat hati aku iyakan. Berat hati disini karena emang badan sudah sangat capek untungnya arah ke Insist sejalur dengan arah pulang kami

Dengan panduan google maps kami  menelusuri kec Kaliurang, sempat beberapa kali kesasar kami akhirnya menemukan kantornya. Memang agak terpencil di kawasan persawahan. Kami disambut hangat oleh penjaga kantor. Mas Udin  namanya, perawakannya sederhana, bibir kehitam-hitaman dengan sesekali menghisap rokok lintingan mengindikasikan mas Udin perokok berat.
Sekilas aku mengira beliau hanya sekedar penjaga kantor dan pembuat kopi untuk para tamu – tamu insist. Di pendopo Mansour Fakih kami dipersilahkan, setelah obrolan panjang-mengalir sedikit-demi sedikit terkuak siapa sosok mas Udin.

“Mas udin yang jaga kantor ini?”  tanyaku tanpa tedeng aling-aling. ”Haha ya sambil bantu-bantu mas,ngedit-ngedit dikit”. Setelah mengulik lebih jauh ternyata dia adalah pimred Insistpress, dengan segala karyanya yang menjadi bacaan kritis lingkarang aktivis hari ini, tentu Mas Udin bukan “orang sembarangan”.

Selain editor ,beliau juga penerjamah buku-buku terbitan insistpress. “Menaja Jalan” salah satu hasil editan terbarunya. Tak heran, menilik latar belakangnya yang pernah menjadi Pimpinan Umum  Balirung (LPM UGM). Namun sebelum di Insist ia sempat beekrja di BUMD.
“ tapi berat  mas kerja disitu, aku akhirnya keluar dari BUMD” akunya. “berat kenapa mas?” tanyaku menyelidik. “ya waktu itu ada satu konflik yang melibatkan warga dan posisiku menjadi perantara pemodal,aku gak kuat mas”.

Mungkin semacam pergulatan batin, jika dia mau kaya bisa saja tapi batinnya menolak, sempat mengaggur beberapa bulam akhinya mas udin masuk ke Insistpres. Mungkin banyak mas Udin-Udin lain diluar sana yang tak terekam sejarah kiprahnya untuk umat.


Pikiranku tiba-tiba melayang, aku berfikir sekaligus bertanya? Apakah kerja-kerja “keabadian” seperti mas udin ini akan dicatat sejarah? Tak banyak koar-koar tapi produktif menulis dan menerjemahkan referensi-referensi kritis untuk sumbangsih gerakan. Di akhir kami sempatkan untuk membeli satu-dua buku untuk bekal pulang. Beruntung kami karena harganya didiskon 40% “ nggak mungkin aku jual dengan harga yang sama mas,nanti dimarahin senior-seniormu” candanya sambil tertawa lepas. Semoga bisa bersua kembali Mas.

Share:

Senin, 09 September 2019

PROGAM REFORMA AGRARIA JOKOWI; GENUINE OR PSEUDO?




PROGAM REFORMA AGRARIA JOKOWI; GENUINE OR PSEUDO?[1]
(Oleh : Fathan Zainur Rosyid)[2]
            Reforma Agraria sempat menjadi komoditas janji kampanye yang pernah dilontarkan Jokowi dalam Pilpres tahun 2014 silam, progam itu ia kemas dalam balutan nawacitanya.  Dalam salah satu dari Sembilan poin nawacitanya disebutkan bahwa dengan Program “Indonesia Sejahera” Pemerintah akan  mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar yang terimplementasi dalam proyek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA ) dan Reforma Agraria Perhutanan Sosial (RAPS). Setelah kurang lebih berjalan empat tahun pemerintahan Jokowi perlu kiranya penulis ikut nimbrung menakar sampai sejauh mana efektifitas kebijakan ini dan apakah program yang diklaim reforma agraria ini sudah berjalan di trek yang benar?.
             Mengingat terbatasnya ruang, penulis tidak akan membongkar  skema dua progam diatas,  di atas lapangan konflik reforma agraria dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan medio 2016-2017 terjadi lonjakan 50% konflik agraria, jika dianalogikan selama sehari hampir terjadi 2 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia artinya secara secara eksplisit progam kerja Jokowi tidak mengurangi ketimpangan aset sumber – sumber agraria, tidak mengurangi penderitaan rakyat.
Menurut Shohibuddin dalam bukunya “Perspektif Agraria Kritis Telaah Teori,Kebijakan dan Kajian Empiris” Reforma Agraria Sejati mensyaratkan dua hal. Pertama adanya  transfer aktual  yakni sejauh mana manfaat kebijakan reforma agraria secara ekonomi dan politik dapat menyasar  kelompok yang dituju (petani gurem/tunakisma- masyarakat fakir tanah). Kedua distribusi tanah menuntut transfer neto menyasar lintas kelas sosial, missal lapisan negara, korporasi, desa hingga komunitas atau lapisan sosial atas hke lapisan sosial bawah.
            Kalau diperhatikan dengan seksama kebijakan reforma agraria Jokowi hampir mirip revolusi hijaunya Soeharto, para pakar menyebut ini dengan istilah  by pass approach atau semacam jalan pintas, konsep ini  memiliki ciri –ciri diantaranya mengandalkan bantuan asing, hutang, dan investasi dari luar negeri serta bertumpu pada yang besar ( betting on the strong). (Gunawan Wiradi; 2009).
 Maka akibatnya sekali lagi kriminalisasi petani hinggan land grabbing tidak kunjung berhenti bahkan cenderung naik dari tahun ke tahun, apalagi kalau kita tinjau cara kerja sustaianable develpomentalism (paradigma pembangunan Negara) mensyaratkan akumulas kapital yang bertumpu pada tanah dan sumber daya alam.

Reforma Agraria Jokowi Jauh dari Semangat UUPA 60’

            Dahulu pemerintah pernah menjalankan land reform meskipun berhenti ditengah jalan akibat gejolak politik tahun 56-66, dengan panduan UUPA tahun 1960 yang mengusung semangat sosialisme ala Indonesia, kemandirian,anti asing dan anti re-konsentrasi sumber agraria. Sayangnya selepas orde baru berkuasa hingga masa reformasi nyaris gaung reforma agraria sejati (baca: yang benar-benar mengusung semangat UUPA) tak lagi muncul.
Dalam konteks reforma agraria, Jokowi tidak lepas dari campur tangan Word Bank.  Dianto Bachriadi dalam “Mengapa GLF Patut Ditolak” bahwa dibalik  terbitnya Intruksi Presiden (Inpres) RI. NO 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di seluruh wilayah Indonesia tidak terlepas dari proyek hutang 200 Juta dollar AS, pendaftaran sertifikasi tanah yang diklaim sebagai progam reforma agraria ini tujuaan besarnya jelas sebagaimana terungkap dalam dokumen CPF (Counter Partnesrship Framework For Indonesia)  yakni terciptanya pasar tanah efektif dan siap alih (transferable) sehingga mendongkrak sektor swasta melalui kelancaran investasi asing. Alih –alih melindungi  alat produksi kaum tani pemerintah berkolaborasi dengan word bank melegalkan tanah dijadikan komoditas melaui program sertifikasi tanah yang mempunyai semangat akumulatif-kapitislitik. Akhirnya mengutip salah satu pakar agraria Gunawan Wiradi bahwa lebih baik menyebut kebijakan Pemerintah hari ini sebagai kebijakan agraria daripada reforma agraria. Mengapa demikian? karena kebijakan agraria hari ini sudah jauh melenceng dari subtansi reforma agraria itu sendiri. Wallahu a’alam   








  
           
           

           
   
           
           
  





[1] Tulisan dibuat sekitar bulan Oktober 2018, untuk dimuat  satu rubrik LPM salah satu kampus Semarang. Karena tidak kunjung dimuat. Untuk keperluan arsip. Maka penulis muat di sini.
[2]  Koordinator Front Nahdliyyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam Semarang



Share:

Selasa, 23 Juli 2019

Bangga Sih Nggak, Lega Iya!



            Tepat tanggal 22 Juli 2019 aku selesai sidang skripsi. Momen yang beberapa hari terakhir membuatku tak bisa tidur. Hal yang sebenarnya malas ku pikirkan tapi kenyataannya sidang “konyol” ini membuatku tertekan secara psikologis cieee (ciee matamu!).
            Dalam tulisan ini aku akan bercerita tentang sedikit prosesku mengerjakan skripsi. Proses yang sebenarnya tak “berdarah-darah” banget terutama jika dibandingkan dengan Ayyik kawan seperjurususanku (kapan –kapan episode Ayyik  kuceritakan). Awalnya ketika kepikiran judul skripsi tepatnya semester 7 ( kalau ndak salah) imajinasiku langsung melayang pada hal-hal yang berbau riset lapangan (field research) dan non-eksakta. Mengapa demikian? Pertama aku malas buka-buka buku terkait ilmu falak. Kedua aku gak bisa hitung-hitungan sesederhana itu guys.
            Semester 9 aku baru benar –benar memikirkan yang namanya “mahluk” skripsi ini, setelah tak tahan gempuran pressure keluarga. Waktu itu aku mengincar aliran-aliran agama Islam dan penghayat kepercayaan yang kiranya mempunyai metode berbeda dalam menentukan awal bulan atau waktu salat, singkatnya setelah beberapa kali kesempatan tanya-tanya ke beberapa ormas dan penganut kepercayaan terkait, aku tak kunjung mendapatkan isnpirasi judul. Problemnya banyak mulai dari sudah ada yang mengkaji sampai aku sendiri yang nggak yakin.
            Sampai suatu saat ada kawan yang memberitahuku (kalau tak dibilang memotivasiku) untuk menanyakan sebuah kitab falak baru yang dikarang oleh ustad muda asal Kediri, dia meyakinkanku bahwa nggak bisa hitung-hitungan ndak masalah, banyak kawan yang bisa dijadikan “pembimbing bayangan” termasuk dirinya yang siap mewakafkan waktu dan pikirannya untuk membantuku lulus.
            Akhirnya akupun luluh, segera ku eksekusi dengan menghubungi sang ustaz. Beliau memberikan izin dan akupun mulai mengerjakan, aku datang ke kediaman beliau melakukan wawancara (sekedar formalitas,la wong gak begitu paham juga hahaha) aku juga  mengajak satu kawan yang kuanggap cukup otoritatif babakan perhitungan falak untuk ikut mewawancarai sang pengarang kitab. 
            Mengenai kitabnya sendiri sekilas tak begitu istimewa (hal ini dikuatkan pendapat beberapa kawan-kawan yang otoritatif babakan Falak) tak ada pemikiran yang orisinil dari penganggit, beliau meminjam beberapa rumus dan data dalam beberapa kitab “babon” untuk kemudian diramu menjadi satu metode utuh. Secara penulisanpun terbilang kurang metodologis beberapa aspek tidak mencantumkan sumbernya,.
            Tapi peduli apa bagi mahasiswa tua renta  yang sudah kekepet lulus seperti saya, selagi judul sudah masuk jurusan langsung tancap gas aja pikirku. Januari 2019 aku masuk bab 2, sempat kepending sebulan karena aku terserang demam berdarah, Maret awal ku mulai mengerjakan lagi.
            Tepat disini problem benar-benar kutemukan. Iya. Perhitungan!. Kepada siapa aku mengadu problem ini? sementara orang yang dulu meyakinkaku sudah lulus dan kembali ke rumah. Tidak mungkin juga aku ganti judul, karena memasukan judul ke jurusan tak semudah membalikan telapak tangan, apalagi bagi mahasiswa falak yang tak cinta falak seperti aing ini.
            Setelah lari ke sana-kemari akhirnya kutemukan dua sosok “malaikat” sebut saja namanya Alfan dan mas Riza, doi berdua yang membimbingku terkait tetek-bengek  perhitungan yang ada di skripiku. Semoga Tuhan memberi balasan setimpal atas kebaikan kalian berdua.
            Setelah itu nyaris proses skipsiku berjalan tanpa hambatan, bimbingan lancar bahkan saking lancarnya pembimbing satuku langsung meng-acc skripsiku tanpa membaca J.  Sehari semalam aku digembleng presentasi skripsi oleh mas Riza, mas Farid, mas Jhon. Mereka mengulik celah –celah skripsiku yang berpotensi ditanyakan ketika sidang, sekaligus memberikan bocoran jawaban tentunya.
            Mereka juga yang meyakinkanku untuk siap mental, harus percaya diri, harus siap mempertahankan argumen, berani menjawab setidak tahu apapun aku tentang falak pokoknya jawab dengan tegas!. Begitu kira –kira pesan mereka. Mas Jhon pun tak ketinggalan dengan ejekan khasnya “ masa biasa ngisi materi kok grogi mau sidang skrips?”. Please mas, ini falak bukan agraria, ataupun materi sejarah!.
            Perlu diketahui sidang pembaca bahwa aku pun tak begitu mengerti skripsi yang kutulis, aku tak tahu apakah ini pengakuan terlarang atau bukan? yang jelas niatku hanya satu bahwa kelak kalau kalian memilih jurusan kuliah atau apapun itu,pilihlah yang sekiranya kalian mencintai jurusan itu. pilihlah dengan hati yang mantap serta pikiran yang jernih. Karena kalau tidak! salah satu implikasinya adalah kesulitan di tugas akhir.
            Akhirnya tiba dihari aku sidang, sesuai impianku, sidang yang sepi penonton, suasana sunyi. Hanya aku dan pengujiku. Aku presentasi dengan percaya diri, semua pertanyaan kujawab dengan (seakan-akan) mantap. Kecuali babakan perhitungan yang memang aku benar –benar tidak bisa, itupun aku tetap mencoba menghitung hingga akhirnya di skip penguji karena kelamaan. Setelah sidang diskorsing saya diminta keluar, dua menit kemudian dipanggil penguji yang juga pembimbing duaku nan baik hati. “Han ayok masuk” pintanya. “Gimana bu, luluskah?”. Beliau mengangguk pelan. ALHAMDULILLAH batinku menjerit.
            Setelah semalaman terbayang-bayang tragedi kawan sejawatku yang gagal lulus karena terganjal penulisan skripsi yang katanya tidak memenuhi standart metode penelitian (padahal paling tebal se-angkatan) kukira kawan-kawanku yang lain pasca tragedi itu akan merasakan hal yang sama. Dan akhirnya aku lulus. Bangga sih nggak, lega iya!.   
             

Share: