Selasa, 15 Oktober 2019

Menolak Bualan Moralis Tentang Film Joker.

joker-film-controversy-discussion

Akibat terlalu sering melihat  story whatsapp tentang film joker lama lama membuatku muak tapi sekaligus tertarik menonton filmnya. Muak karena pesan story wahtsapp yang terlampau moralis. “kejahatan berasal dari kebaikan yang........” intensitas pesan itu muncul sama seringnya dengan lagu entah apa yang merasukimu . Seakan setiap orang  pegang gawai pernah mendengarkan barang sekelebat lagu itu.

Intensitas itu ditambah obrolan dilingkaran teman (yang sudah nonton) membuatku ingin membuktikan apakah benar bualan moralis tentang Joker tersebut? ( dasar! memangg iklan bisa datang dari lini arah kehidupan manapun).

 Setelah mendapat info bioskop termurah se-Semarang, saya bersama kawan-kawanku bergegas untuk beli tiketnya, sampai bioskop pukul 19.00 WIB dapat jadwal nonton pukul 21.00 WIB
Dua jam yang cukup lama untuk ukuran orang penasaran. Di awal film, kondisi tubuh kurus kerontang tokoh utama Arthur Fleck /Joker yang diperankan Joaquin Phenix, adegan pengroyokan, hingga pekerjaan “sialan”, menjadi badut dan keseharian merawat ibunya cukup  membuatku dan
mungkin sebagian penonton  berempati.

Namun kesemuanya berubah mencekam ketika “keadaan memaksanya” untuk berbuat kekerasan terhadap orang –orang disekelilingnya.
Berbekal pistol belum lunas dari kawannya, Arthur yang dari awal selalu merasakan dan “menerima” kekalahan-kekalahan dalam hidupnya. Berubah melawan apapun dan siapapun yang merasa menindas tubuh dan pikirannya. Membunuh orang-orang “menjengkelkan” disekelilingnya.

Apa “keadaan memaksa” itu?


Sejak tayang pertama kali film joker telah menimbulkan pro-kontra. Ada semacam kekhawatiran bahwa film itu dapat melegitimasi kekerasan. Setelah nonton film tersebut paginya saya dikirimi video dari youtube oleh seorang kawan tentang statement psikolog, ia menjelaskan efek negatif dibawah alam sadar setelah nonton film joker, lagi lagi seputar dorongan legitimasi untuk melakukan kekerasan.

Selain hal diatas banyak tulisan-tulisan pendek yang berseliweran di lini media massa bahwa kekerasan yang  dilakukan oleh Joker karena ia mengidap skyzofrenia semata. Seakan ingin mengatakan “kalau orang waras tidak akan kok melakukan kekeresan dan kejahatan sedemikian keji seperti dilakukan Joker”.

Di akun Intagram @narasinewsroom terdapat salah konten menarik tentang Joker, akun itu memberi pertanyaaan kira-kira faktor apakah yang mebuat Arthur Fleck menderita skyzofrenia. Apakah faktor trauma kekerasan masa kecil dari ibunya? Ataukah faktor kondisi ekonomi keluarganya dan ketimpangan sosial ekonomi kota Gotham yang tak memihak pada orang sepertinya? Kalau boleh saya tambahi, jika jawabannya keduanya, mana faktor determinan diantara keduanya?.

Bagiku keduanya saling mempengaruhi, namun faktor determinannya adalah faktor ketimpangan sosial Gotham, secara kelas, Arthur adalah kelas proletariat, ia hanya mengandalkan jasanya untuk dipekerjakan sebagai badut, hidup di sebuah apartemen kecil dengan tanggungan ibunya yang juga terkena skyzofrenia.

Hidup sehari-hari dengan penuh kerentanan dan ketertindasan. Himpitan ekonomi ditengah sistem kapitalisme membuat orang –orang seperti Arthur hidup segan mati tak mau. Untuk sekedar hidup subsisten pun susah.

Disatu sisi negara gagal hadir menyelamatkan hidupnya, alih-alih menjadi mesias, negara memotong akses layanan kesehatan sosial yang membuat Arthur tak lagi bisa memeriksakan kesehatan mentalnya.

Dalam konsep webberian tentang  life chance Arthur merupakan insan yang tidak beruntung tidak lahir dari kelas aristokrat ataupun kapitalis kapitalis birokrat dengan segudang kekayaan dan privilese sehingga penyakitnya bisa segera diobati dengan penanganan yang optimal. Ya, ia tidak bisa memilih ia lahir darimana. Solusi orang sepertinya ialah bekerja dan berusaha semaksimal mungkin hingga waktu menjawab masa depannya lebih cerah.

Namun dalam konsep Marxian, “hidup adalah tentang perjuangan kelas” arthur adalah kelas proletar. Ia adalah element paling potensial untuk melakukan perlawanan mengorganisir kawan-kawannya untuk menumbangkan tirani borjuis dan merebut alat produksi.

Dibagian akhir film statementnya tentang bagaimana kejahatan struktural elit-elit negara di acara talk show salah satu stasiun televisi memantik radikalisme massa aksi yang lebih dulu masif dilakukan di penjuru Gotham. Ia berkelakar dengan sedikit senyum sinis “ Jika kalian tak peduli pada kemiskinan, biarkan aku memilih tak peduli pada pembunuhan”. Tepat di titik itu saya merasa ia mengucapkan dengan 100%  kesadarannya. Anda boleh berdebat setuju atau tidak soal statementnya.

Bagi saya Arthur adalah martir perlawanan itu sendiri. Ia adalah representasi riil kondisi masyarakat termajinalkan yang tak diperhatikan pemangku kebijakan berkomposisikan para olighark. Apakah kita yang mendaku waras dan sehat secara mental ini harus membutuhkan sosok Arthur si pengidap penyakit mental itu untuk mengerti bahwa sistem kapitalisme ini sudah sedemikian destruktif?

Menyimpulkan bahwa kekerasan yang dilakukan Joker semata hanya soal penyakit skyzofrenia  sama halnya menyimpulkan pelaku penusukan Wiranto terpapar paham radikalisme (baca: islam ultrakonservatif) semata. Sama-sama simplikatif. Jika pun benar, kita seringkali acuh tak acuh mengenai faktor determinan apa yang membuatnya demikian.
Wallahu a’lam.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar