Hari ini aku memutuskan untuk pulang kerumah, tidak
melanjutkan studiku di Pare. Keputusan
yang mungkin orang menilainya tergesa-gesa, gegabah serta tanpa
pertimbangan matang. Apapun itu,
inilah keputusanku. Diluar diriku
pribadi, tidak ada yang salah. Fakta-fakta bahwa aku terlalu malas, tidak cukup
effort untuk meng-improve skill bahasaku adalah sedikit dari
sekian alasan mengapa aku harus segera pulang ditengah periode belajar yang
masih tersisa tiga minggu.
Aku belajar disini ditopang keuangan keluarga, lebih tepatnya ibuku
selepas kepergian bapak. Sesuatu yang
tak pantas ditengah kemalasan belajarku. Ditengah usiaku yang tak lagi ABG.
Terkadang motivasi, nasihat, masukan-masukan dari kawan dibutuhkan dalam keadaan
seperti ini.
Tapi kali ini aku tidak memerlukan itu. sudah terlampau banyak
masukan berharga dari kawan-kawan, dari orang-orang yang menyayangiku. Namun
faktanya sampai detik ini tak sedikitpun terejawentahkan. Namun setidaknya
semua itu masih tersimpan di memori dan sanubari hati.
Aku harus menghukum diriku sendiri, pulang kerumah mengais ekonomi
secara mandiri sambil menemani ibu di rumah. Kupikir sudah terlalu lama aku
merantau. Selepas tamat SD hidup di pesantren hingga tamat MA setelah itu lima
tahun kuliah di Semarang. Selama itu pula aku “nyusu” orang tua.
Sementara aku harus mengubur mimpi-mimpiku untuk menempuh magister
hingga menjadi dosen. Seakan pribadi ini membentak diri sendiri. “jangan
bermimpi muluk-muluk sebelum kau bisa merubah dirimu menjadi lebih disiplin,
mengaplikasikan nasehat-nasehat kecil yang kau anggap klise nan memuakkan itu”.
Walau bagaimanapun Pare mengajarkanku banyak hal, setidaknya
orang-orang yang bertahan disini adalah orang-orang yang benar-benar fight.
Tidak sepertiku yang memilih menjadi pecundang. Namun dilubuk hati yang paling
dalam aku masih berharap dapat terus belajar, mengulik sekecil apapun itu
tentang bahasa inggris, khususnya membaca dan mendengar.
Ibu, Bapak maafkan anakmu yang tak bisa menepati janjimu untuk
sungguh-sungguh belajar di Pare. Anakmu sadar seribu kali ampunan dan sujud tak
akan menghapus dosa ini. Anakmu akan terus berusaha berproses buk, pak. Menjadi
manusia yang ibu, bapak inginkan dengan caranya sendiri. Anakmu hanya butuh
restumu. Sekali lagi maaf.
Akhirnya kali ini aku memilih kerasnya kehidupan untuk menasehatiku
agar menjadi pribadi lebih baik.
Pare, 1 Maret 2010.
Pecundang
0 komentar:
Posting Komentar