Sabtu, 29 Februari 2020

Menjadi Pecundang di Pare


Hari ini aku memutuskan untuk pulang kerumah, tidak melanjutkan  studiku di Pare. Keputusan yang mungkin orang menilainya tergesa-gesa, gegabah serta tanpa pertimbangan  matang. Apapun itu, inilah  keputusanku. Diluar diriku pribadi, tidak ada yang salah. Fakta-fakta bahwa aku terlalu malas, tidak cukup effort untuk meng-improve skill bahasaku adalah sedikit dari sekian alasan mengapa aku harus segera pulang ditengah periode belajar yang masih tersisa tiga minggu.
Aku belajar disini ditopang keuangan keluarga, lebih tepatnya ibuku selepas kepergian bapak.  Sesuatu yang tak pantas ditengah kemalasan belajarku. Ditengah usiaku yang tak lagi ABG. Terkadang motivasi, nasihat, masukan-masukan dari kawan dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.
Tapi kali ini aku tidak memerlukan itu. sudah terlampau banyak masukan berharga dari kawan-kawan, dari orang-orang yang menyayangiku. Namun faktanya sampai detik ini tak sedikitpun terejawentahkan. Namun setidaknya semua itu masih tersimpan di memori dan sanubari hati.
Aku harus menghukum diriku sendiri, pulang kerumah mengais ekonomi secara mandiri sambil menemani ibu di rumah. Kupikir sudah terlalu lama aku merantau. Selepas tamat SD hidup di pesantren hingga tamat MA setelah itu lima tahun kuliah di Semarang. Selama itu pula aku “nyusu” orang tua.
Sementara aku harus mengubur mimpi-mimpiku untuk menempuh magister hingga menjadi dosen. Seakan pribadi ini membentak diri sendiri. “jangan bermimpi muluk-muluk sebelum kau bisa merubah dirimu menjadi lebih disiplin, mengaplikasikan nasehat-nasehat kecil yang kau anggap klise nan memuakkan itu”.
Walau bagaimanapun Pare mengajarkanku banyak hal, setidaknya orang-orang yang bertahan disini adalah orang-orang yang benar-benar fight. Tidak sepertiku yang memilih menjadi pecundang. Namun dilubuk hati yang paling dalam aku masih berharap dapat terus belajar, mengulik sekecil apapun itu tentang bahasa inggris, khususnya membaca dan mendengar.
Ibu, Bapak maafkan anakmu yang tak bisa menepati janjimu untuk sungguh-sungguh belajar di Pare. Anakmu sadar seribu kali ampunan dan sujud tak akan menghapus dosa ini. Anakmu akan terus berusaha berproses buk, pak. Menjadi manusia yang ibu, bapak inginkan dengan caranya sendiri. Anakmu hanya butuh restumu. Sekali lagi maaf.   
Akhirnya kali ini aku memilih kerasnya kehidupan untuk menasehatiku agar menjadi pribadi lebih baik.
Pare, 1 Maret 2010.
Pecundang


Share:

0 komentar:

Posting Komentar