Jumat, 11 Desember 2020

Tentang Hilangnya Cita Rasa Pedas Dari Masakan Ibu.

 




Sampai detik ini saya masih menganggap masakan ibu merupakan masakan paling enak. Barangkali klaim saya jamak dirasakan oleh anak pada ibunya. Sosok yang memasakkan kita dari kecil sehingga  cita rasanya sudah ngapal di lidah kita sebagai anak atau kita bisa request sesuka hati hingga ibu kita juga hapal selera anaknya.

Catatan ini saya buat setelah belakangan saya sadar ada pergeseran cita rasa masakan ibu terhadap apapun yang ia masak. Beliau sudah tak mau lagi atau lebih tepatnya tidak kuat memakan makanan pedas. Ibu punya riwayat mag, beberapa kali sakitnya kambuh karena tak sengaja kemasukan makanan pedas, setidaknya  itu penyebab yang ia yakini. Paling mutakhir malam ke-dua puluh delapan bulan puasa tahun  kemarin. Setelah selesai membaca Alquran sebuah syukuran kecil dilaksanakan jamaah ibu-ibu musholla RT. Acaranya makan-makan dengan menu tumpeng serta lalapan hasil olahan-olahan ibu-ibu jamaah sendiri, teknisnya dibagi tugas sesuai kesepakatan mereka . Mereka mengaji sendiri, syukuran juga masak sendiri hal yang nampaknya terlalu merepotkan untuk kaum bapak-bapak.

Tepat diacara syukuran kecil-kecilan itulah ibu tak sengaja kebagian lalapan krawu pedas. Besok malamnya beliau tak kuasa menahan rasa sakit sampai hari lebaran kupat. kurun waktu yang tidak sebentar sementara ibu memlih menahan rasa sakit di rumah dengan minum obat seadanya dari mantri desa. Kami anaknya sebenarnya tak kurang-kurang membujuknya untuk bersedia dirujuk ke rumah sakit, hingga pada suatu malam ia tak kuat menahan sakit. Rasa sakit luar biasa yang akhirnya meruntuhkan pendiriannya. Kami sudah siap-siap pergi ke rumah sakit, jam dinding menunjukan pukul 23.00 WIB. Saat motor sudah siap dinyalakan tiba-tiba ibu bilang ingin buang air besar, setelah selesai buang air besar ia mengaku sudah baikan dan kamipun tak jadi ke rumah sakit.

Esoknya ibu mengaku sudah sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa, ya secepat itu. Semalam mengeluh luar biasa, paginya mengaku sembuh. Saya sejujurnya tidak benar-benar bisa membedakan beliau sembuh dalam arti yang sesungguhnya atau hanya ingin semua terlihat baik-baik saja. Yang jelas setelah itu keadaan memang baik-baik saja. Namun tidak untuk cita rasa masakan ibu. Akumulasi kambuhnya mag ibu membuatnya seperti tak lagi bisa membedakan mana masakan pedas dan tidak.

Ibuku sama seperti ibu pada umumnya yang selalu mengerti apa cita rasa masakan anaknya. Saya suka masakan asin-pedas. Ibuku tahu itu sehingga setiap masakan yang ia hidangkan untuk-ku sudah pasti memenuhi syarat di atas. Beda cerita dengan almarhum bapak yang sudah lama juga tak makan pedas, kalau bapak perkaranya penyakit lambung. Ibu dan bapak punya satu cita rasa masakan yang sama, sama-sama anti pedas,intensitas memasakkan hidangan untuk bapak jauh lebih tinggi daripada saya yang sejak kecil merantau. Barangkali perkara terakhir juga punya pengaruh.

Setelah bapak meninggal dan saya menetap di rumah, hidangan ibu perlahan mulai saya rasakan berubah. Saya sendiri kurang tahu kapan tepatnya ibu tak lagi “bisa” masak masakan pedas. Hanya aspek asin-manis yang tersisa, rasa pedas sudah hilang sama sekali. Terakhir beliau masak rica-rica

“kali ini rica-ricanya pedas banget lo, coba cicipin kurang pedas nggak?”  seloroh ibu setengah mengingatkan. Peringatan yang rasa-rasanya sudah sering ibu sampaikan dan seperti biasa setelah mencicipi satu irisan daging saya tak merasakan sama sekali rasa pedas, hanya asin dan manis khas bumbu rempah-rempah. Ibu tahu masakannya kurang pedas atau bahkan tak pedas sama sekali setelah melihat ekspresi wajah anaknya yang menandakan raut muka datar.

“padahal udah tak tambahi mrica dan lombok dua kali lipat dari biasanya, tak cicipi pedas banget”. Klaimnya dengan penuh semangat. Klaim soal hilangnya aspek pedas dalam maskan ibu ini juga diakui oleh sanak famili, mulai bude,bulek hingga keponakan.

Sesungguhnya catatan ini dibuat bukan untuk menggugat masakan ibu (naudzubillah) tapi sebaliknya seperti sudah saya tegaskan pada kalimat pertama tulisan ini, masakan ibu tetap tak tergantikan. Terkadang banyak aspek untuk menilai suatu masakan termasuk hubungan biologis, memang subjektif sih tapi apa yang salah dari penilaian subkjektif-ku? Toh tidak ada yang dirugikan. Ibu adalah figur yang memasakkan dan menyuapi anaknya hingga mampu mandiri makan dan masak sendiri. Ia tak tergantikan. Semandiri apapun sang anak, ibu tetap memasakkan anaknya sebagi manifestasi kasih sayangnya tanpa batas.

Mengenai cita rasa pedas yang hilang dari masakan ibu, saya cukup mandiri untuk sekedar membuat sambel plelek.

           

                                                                                                Polorejo, 11 Desember 2020

Share:

0 komentar:

Posting Komentar