.
Ketika kemarin kami dihadapkan
pilihan antara puncak cumbri dan mongkrang kami memang memilih cumbri, namun itu tak serta merta memalingkan kami sepenuhnya dari cumbri. Dalam rangka
mengisi kekosongan malam minggu. Kami memutuskan untuk mendaki cumbri. Sebuah bukit yang terletak
diantara perbatasan wilayah Ponorogo-Wonogiri dengan ketinggian kurang dari
1000 Mdpl.
Awalnya kami berencana ber-enam.
Namun karena sebagian berhalangan, akhirnya tiga orang tersisa, aku, Huda dan
Rizki. Berbekal pengalaman mendaki dua bukit; Pringgitan dan Mongkrang kali ini
kami lebih rileks dalam persiapan. “ kita Tek-tokan (baca;naik puncak langsung
turun tanpa bermalam, istilah populer para pendaki) aja ya” aku menawarkan opsi
dan yang lain setuju tanpa mendebat.
Awalnya kami merencanakan mulai naik
sekitar pukul 02.00 wib dinihari untuk menghindari menunggu sunrise terlalu
lama. Namun kami menyadari potensi malas berangkat pada jam-jam tersebut. Pada
praktiknya saya dan Rizki berangkat jam 20.00 WIB menuju kediaman Huda, rumah
paling dekat menuju Pager Ukir tempat pos pendakian.
Sebenarnya ada dua jalur pendakian, pertama
Pager Ukir Sampung masuk wilayah Ponorogo Jawa Timur, Kedua Purwantoro masuk
wilayah Wonogiri Jawa Tengah. Yang pertama memiliki jarak tempuh lebih
pendek daripada kedua.
Setelah sampai di kediaman Huda kami
packing mempersiapkan konsumsi dan peralatan secukupnya. Sambil menuggu waktu lebih larut
kami berbincang santai.
Takut makin lama makin malas gerak,
sekitar pukul 23.00 kami memutuskan jalan, di perjalanan menuju Pager Ukir kami
menjumpai jalan buntu dan rusak yang hampir mustahil dilewati, untungnya
Rizki yang sudah lebih dari sekali ke
Cumbri punya beberapa opsi jalan. Yang terakhir jalannya beraspal mulus. Dalam
benakku bertanya “ kenapa tidak dari tadi lewat sini Riz? Hmmm”.
Dalam perajalanan tidak ada kendala
berarti, aku yang biasanya mengalami encok di punggung kali ini tak
merasakannya, hanya sesekali capek, tapi tak seberapa. Huda yang mulanya mengeluh sakit perut seiring berjalannya waktu membaik.
Sekitar satu jam kami mendaki
tibalah kami di punggungan cumbri, relatif
cepat, aku pribadi tak menyangka secepat itu. Di punggungan kami beristrirahat
lumayan lama. Hingga sekitar pukul 02.00 wib, kami lanjutkan naik ke puncak
cumbri, puncaknya menyerupai bebatuan besar bersandingan, hampir tak ditemukan
dataran yang cukup untuk digunakan mendirikan tenda, para pendaki mendirikan
tenda di punggungan itupun tak benar-benar rata. Kami sendiri beristirahat dan
masak – masak ditempat yang kami anggap paling ideal.
Selesai menikmati hidangan kopi,
sosis dan mi instan, rasa kantuk menyerangku. Aku tertidur tapi tak pulas, begitupun
Huda ia tidur dengan posisi duduk sedangkan Rizki terjaga dengan ditemani
gawainya.
Jelas kami berdua tak pulas, selain
tidak ada bidang datar untuk tidur, kami tak bawa tenda sedangkan angin
berhembus sangat kencang menembus pori-pori kulit kami. Sesekali aku bangun dan
reflek minta turun pada Rizki, ia menyanggupi dengan syarat permainan mobile
legend-nya kelar.
Aku menunggunya sampai tak terasa
kembali tertidur lagi, bangun kedua kalinya dengan permintaan yang sama, kali ini Huda menimpali dengan
setengah sadar “ di sini aja dulu” pintanya dengan masih di posisi tidur yang
sama; yakni duduk.
Rasa-rasanya aku tak kuat menahan dingin sampai waktu sunrise muncul, sedangkan disitulah momen paling indah untuk berswafoto. Apalagi yang diharapkan dari mendaki selain itu?. aku sempat khawatir mereka kecewa.
Namun tak lama berselang Huda juga
mengajak turun. “ayo turung ngapain lama-lama”. Akhirnya kami berkemas dan
sekali dua kali mengambil gambar, walaupun ala kadarnya karena kondisi masih gelap.
Saat itu nampaknya kita satu persepsi bahwa hal terindah dari naik gunung adalah proses perjalanan itu sendiri. Urusan foto bukanlah prioritas utama. Jika memungkinkan kita abadikan, jika tidak, biarkan Tuhan yang mengabadikan. Pagi itu kami berhasil mengalahkan hasrat berswafoto.
0 komentar:
Posting Komentar