Selasa, 16 Maret 2021

Cumbri; Melawan Hasrat Berswafoto.

 




.

Ketika kemarin kami dihadapkan pilihan antara puncak cumbri dan mongkrang kami memang memilih cumbri, namun itu tak serta merta memalingkan kami sepenuhnya dari cumbri. Dalam rangka mengisi kekosongan malam minggu. Kami memutuskan untuk mendaki cumbri. Sebuah bukit yang terletak diantara perbatasan wilayah Ponorogo-Wonogiri dengan ketinggian kurang dari 1000 Mdpl.

Awalnya kami berencana ber-enam. Namun karena sebagian berhalangan, akhirnya tiga orang tersisa, aku, Huda dan Rizki. Berbekal pengalaman mendaki dua bukit; Pringgitan dan Mongkrang kali ini kami lebih rileks dalam persiapan. “ kita Tek-tokan (baca;naik puncak langsung turun tanpa bermalam, istilah populer para pendaki) aja ya” aku menawarkan opsi dan yang lain setuju tanpa mendebat.

Awalnya kami merencanakan mulai naik sekitar pukul 02.00 wib dinihari untuk menghindari menunggu sunrise terlalu lama. Namun kami menyadari potensi malas berangkat pada jam-jam tersebut. Pada praktiknya saya dan Rizki berangkat jam 20.00 WIB menuju kediaman Huda, rumah paling dekat menuju Pager Ukir tempat pos pendakian.

Sebenarnya ada dua jalur pendakian, pertama Pager Ukir Sampung masuk wilayah Ponorogo Jawa Timur, Kedua Purwantoro masuk wilayah Wonogiri Jawa Tengah. Yang pertama memiliki jarak tempuh lebih pendek daripada kedua.

Setelah sampai di kediaman Huda kami packing mempersiapkan konsumsi dan peralatan  secukupnya. Sambil menuggu waktu lebih larut kami berbincang santai.

Takut makin lama makin malas gerak, sekitar pukul 23.00 kami memutuskan jalan, di perjalanan menuju Pager Ukir kami menjumpai jalan buntu dan rusak yang hampir mustahil dilewati, untungnya Rizki yang  sudah lebih dari sekali ke Cumbri punya beberapa opsi jalan. Yang terakhir jalannya beraspal mulus. Dalam benakku bertanya “ kenapa tidak dari tadi lewat sini Riz? Hmmm”.

Kami mulai naik sekitar pukul 23.30 Wib, naik dengan pelan sambil sesekali istirahat. Kami mencoba sesantai mungkin agar sampai puncak sudah dinihari.  Pendakian dipimpin Rizki sang leader, dia yang paling paham soal seluk beluk pendakian. Di tengah aku, orang yang paling rentan fisiknya dan terakhir Huda sang sweeper, selain yang paling besar diantara kami, dia juga paling sabar, terbukti ketika pendakian di Mongkrang silam.

Dalam perajalanan tidak ada kendala berarti, aku yang biasanya mengalami encok di punggung kali ini tak merasakannya, hanya sesekali capek, tapi tak seberapa. Huda yang mulanya mengeluh sakit perut seiring berjalannya waktu membaik. 

Sekitar satu jam kami mendaki tibalah kami di punggungan cumbri, relatif  cepat, aku pribadi tak menyangka secepat itu. Di punggungan kami beristrirahat lumayan lama. Hingga sekitar pukul 02.00 wib, kami lanjutkan naik ke puncak cumbri, puncaknya menyerupai bebatuan besar bersandingan, hampir tak ditemukan dataran yang cukup untuk digunakan mendirikan tenda, para pendaki mendirikan tenda di punggungan itupun tak benar-benar rata. Kami sendiri beristirahat dan masak – masak ditempat yang kami anggap paling ideal.

Selesai menikmati hidangan kopi, sosis dan mi instan, rasa kantuk menyerangku. Aku tertidur tapi tak pulas, begitupun Huda ia tidur dengan posisi duduk sedangkan Rizki terjaga dengan ditemani gawainya.

Jelas kami berdua tak pulas, selain tidak ada bidang datar untuk tidur, kami tak bawa tenda sedangkan angin berhembus sangat kencang menembus pori-pori kulit kami. Sesekali aku bangun dan reflek minta turun pada Rizki, ia menyanggupi dengan syarat permainan mobile legend-nya kelar.

Aku menunggunya sampai tak terasa kembali tertidur lagi, bangun kedua kalinya dengan permintaan  yang sama, kali ini Huda menimpali dengan setengah sadar “ di sini aja dulu” pintanya dengan masih di posisi tidur yang sama; yakni duduk.

Rasa-rasanya aku tak kuat menahan dingin sampai waktu sunrise muncul, sedangkan disitulah momen paling indah untuk berswafoto. Apalagi yang diharapkan dari mendaki selain itu?. aku sempat khawatir mereka kecewa.

Namun tak lama berselang Huda juga mengajak turun. “ayo turung ngapain lama-lama”. Akhirnya kami berkemas dan sekali dua kali mengambil gambar, walaupun ala kadarnya karena kondisi masih gelap.

Saat itu nampaknya kita satu persepsi bahwa hal terindah dari naik gunung adalah proses perjalanan itu sendiri. Urusan foto bukanlah prioritas utama. Jika memungkinkan kita abadikan, jika tidak, biarkan Tuhan yang mengabadikan. Pagi itu kami berhasil mengalahkan hasrat berswafoto.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar