Selasa, 02 Juli 2024

Perjuangan Menggapai Restu Orang Tua

Beberapa hari pasca kami bertemu, kami berinisiatif untuk bercerita kepada orang tua. Aku bilang kepada ibu bahwa perkenalan ini meskipun singkat kami berupaya untuk menjaga komitmen, pun aku minta ibu untuk terlebih dahulu tidak bercerita pada sanak famili, mengingat kami baru kenal dan ingin lebih mengenal satu sama lain.

Alhamdulillah ibu merespon dengan positif  “selagi hatimu mantap dengan pilihanmu, ibu merestui” jawaban yang membuat hati ini lega sekaligus percaya diri, perasaan terakhir ini kelak di tengah cerita akan membawa polemik.

Farida (nama calon istri) memberi kabar bahwa orang tuanya merestui hubungan kami, dan tidak ada problem terkait hitungan jawa, dia bertanya bagaimana soal hitungan jawa dikeluargaku, apakah aman?.

Keluargaku belum sampai pembahasan itu, tanpa bermaksud menggampangkan persoalan ini, jawaban ibu dari percakapan di atas membuatku merasa aman, termasuk dari kemungkinan terhalang dari hitungan jawa meskipun ibu dan keluarga besar cukup teguh memegang adat jawa satu ini.

 

“Sigar Segoro Geteh”.

Aku lahir dari rahim pendidikan pesantren, sedikit banyak diperkenalkan Islam dari literatur kitab turast (kitab anggitan ulama klasik), dewasa melanjutkan belajar di kampus Islam Semarang. Di lingkungan kampus diperkenalkan dengan buku-buku wacana Islam liberal-kiri, sementara di keluargaku Bapak adalah mursyid (pemimpin) tariqah sekaligus menguasai pengetahuan adat jawa.

Pasca Bapak meninggal keluarga  kami “diditipkan” ke pak Mislan dan mas Syakur. Nama pertama kawan seperjuangan bapak merintis tariqah, beliau juga Mursyid. Nama kedua masih famili sekaligus dalam tariqah berkedudukan badal mursyid (pengganti mursyid ketika berhalangan). Secara umum setiap keputusan besar dalam keluarga kami harus melalui pertimbangan beliau berdua, terutama pak Mislan.

Suatu hari ibu membantu masak untuk suatu kegiatan di rumah mas Syakur, disitulah ibu bercerita tentang hubungan kami. “kui engko ketemune sigar segoro getih, ora oleh lak ning adat jawa, takok,o Mislan jawabane podo”.Ujar mas Syakur.

Ketika itu aku mendampingi anak-anak sekolah jalan santai dalam rangka hari besar Islam. Rutenya kebetulan melewati rumah mas Syakur dan tepat di depan rumah ketika kami berpapasan ibu bilang “wis bocae lalekno, ketemu sigar segoro getih, mumpung durung adoh (hubungan kami belum serius)”.

Seketika wajahku memerah, badanku membeku, perasaanku kalut, hatiku gusar, ibu memintaku untuk duduk berunding bersama mas Syakur, namun aku enggan, fikiranku buntu, emosiku tak terkontrol, aku pulang dan mengurung diri di kamar.

 

Berjibun pertanyaan muncul di benakku; mengapa ibu mengatakan itu dengan mudah? menyuruhku melupakan perempuan kuyakini dengannya aku berjodoh!, mengapa ibu mengatakan itu di tempat umum?, bukankah beberapa waktu lalu ibu bilang akan merestui hubungan kami? apakah restunya tercerabut semata karena hitungan jawa?, sepenting itukah hitungan jawa sampai beliau tak mempertimbangkan aspek lain?, apa itu segoro getih?.

Setelah ibu di rumah, kami terlibat percakapan sengit, beliau berbicara lirih, menjelaskan apa itu segoro getih: sederhananya ketika akad/resepsi mempelai pria tidak boleh melewati rumah kakak. Perlu diketahui kakakku menikah dengan perempuan satu dusun dengan Farida jadi kemungkinan akan melewati rumah kakak, walaupun ada beberapa opsi jalan yang memungkinkan untuk tidak melewati rumah kakak.

Aku mencoba menawar; apakah hal-hal seperti itu tidak bisa dicarikan penangkal. Aku memang tak tahu menahu perihal hitungan jawa, tapi aku beberapa kali melihat dan mendengar percakapan Bapak dengan tamunya membicarakan problem serupa. Bapak bisa mencarikan penangkal.

Ibu tetap bergeming, beliau mencontohkan beberapa tetangga tak direstui menikah dengan alasan serupa, akupun mencohtohkan beberapa orang tetap menikah dengan problem serupa langgeng sampai sekarang.

Mungkin ibu setengah heran mengapa aku sekeras kepala itu untuk perempuan baru pertama kali kutemui, jawabannya sederhana karena tidak ada alasan masuk akal untuk aku melepasnya. Bagiku hitungan jawa bukan faktor determinan seseorang melepaskan perempuan pilihannya, apalagi niat kami mulia, ibadah selamanya.

Sambil menyeka air matanya ibu mengatakan ini demi kebaikan kami. Aku pun kembali menegaskan bahwa aku hanya menginginkan ridho ibu. Akhirnya ibu mengajakku pergi ke rumah pak Mislan, beliau akan jadi solusi terakhir, apapun keputusan beliau kami sepakat akan sama-sama menerimanya.

Pukul 11.00 di tengah guyuran hujan kami diantar keponakan menggunakan mobil ke rumah pak Mislan. Di perjalanan fikiranku melayang pada ucapan mas Syakur “sekalipun dikonsultasikan ke pak Mislan jawabannya akan sama (sigar segoro getih)”.

Aku mencoba membuang jauh-jauh pikiran itu, sepanjang perjalananan tak henti kulantunkan fatihah untuk Bapak dan pak Mislan, juga kulantunkan salawat jibril.

Sampai sana sekitar pukul 11.30 Wib, pintu tak langsung dibuka. Disela – sela menunggu fatihah tak putus kulantunkan sembari memohon kepada Allah Swt keputusan terbaik untuk kami.

Setelah menunggu sekitar satu jam kami dipersilahkan masuk, aku mengambil air wudhu, ibu dan keponakan masuk terlebih dahulu. Setelah bersalaman dengan beliau, tiba-tiba beliau berujar “sajakke tresnone wis tenanan” . saya hanya menimpali “nggeh”.

Setelah ibu menyampaikan maksud kedatangan kami, Pak Mislan memintaku menulis nama kami berdua, tanggal lahir serta pasaran jawanya. Beliau lalu masuk ke kamar. Sekitar 5 menit berlalu beliau keluar kamar dan berucap dengan lugas “iki apik Yu ( beliau memanggil ibuk dengan panggilanYu) iso dilanjutne, ning syarate 2, pertama kudu oleh izine mas’e, kedua sifate ora baku, lak iso sing istri digowo ngetan (rumahku)”.

Aku dan ibu tak kuasa menahan air mata, kami menitihkankan air mata haru. Ibu lega apalagi aku. Alhamdulillah pak Mislan sama sekali tak menyinggung sigar segoro getih.

Ketika pak Mislan merestui ibu otomatis ikut merestui karena pada dasarnya tidak ada masalah pada Farida, masalah semata pada hitungan jawa, ketika hal itu ternyata tidak memberatkan hubungan kami, maka secara otomatis restu kudapatkan.

Malam hari setelah salat isak aku bergegas ke rumah kakak di Sampung, meminta restu dengan gagah dan percaya diri, dan seperti harapanku kakak merestui hubungan kami. Alhamdulillah akhirnya kami mendapatkan restu orang tua.

Tentang Adat (hitungan) Jawa.

Ketika hubungan kami terancam batal karena perkara hitungan adat jawa, dalam hati aku berjanji bahwa suatu hari saat punya anak, aku tak akan melarang anakku menikah dengan pilihannya “hanya” karena hitungan jawa. Selama mereka yakin dengan pilihannya, bertanggung jawab atas keputusannya, restuku akan kuberikan.

Dalam salah satu hadist nabi memilih istri berdasarkan 4 hal; harta, nasab, keantikan dan agama. Dari keempat kriteria tersebut agamalah prioritas utama dan Farida perihal aspek agama bagiku lebih dari cukup.

Perihal adat jawa tak menjadi pertimbangan serius untukku ketika memilih Farida meskipun Farida dan keluargaku menganggap itu penting. Aku pernah mendengar sebagian orang-orang bilang meyakini sepenuhnya adat jawa sebagai penentu keputusan sama dengan “musyrik kecil” betapapun penganut adat jawa membantahnya karena secara bersaman mereka sekaligus muslim-taat.

Bagiku predikat “musrik kecil” terlalu berlebihan, karena setidaknya orang terdekatku penganut adat jawa selain muslim-taat dalam derajat tertentu semata untuk melestarikan khazanah kearifan lokal sekaligus mengohrmati peninggalan ajaran nenek moyang.

Pramodedya Ananta Toer dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” mengecam keras masyarakat penganut adat jawa dengan menyebutnya sebagai boneka dari daging dan tulang.

“barang siapa masih percaya (hitungan jawa) dia hanyalah boneka dari daging dan tulang. Seluruh jiwanya dikendalikan oleh perhitungan-perhitungan yang tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Dia bukanlah manusia bebas, dan tak ada orang lain dapat membebaskannya dari belenggu klenik daripada dirinya sendiri. Dengan perhitungan semacam itu orang tak berani mengambil inisiati untuk melakukan sesuatu bila perhitungan tidak membenarkan. Sebaliknya orang menjadi berlebih – lebihan bila perhitungan menganjurkan. Maka pribadinya goyah, tidak mantap, kerdil untuk selama-lamanya karena memang tidak terlatih berpikir bebas tanpa batas”.

Tanpa merendahkan adat jawa, bagiku adat jawa seyogyanya cukup dipelajari sebagai khazanah kearifan lokal dan dalam derajat tertentu dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan tapi tidak untuk diyakini sepenuhnya sebagai kompas takdir yang akan terjadi dimasa depan apalagi dengan mengabaikan aspek – aspek material sebagai pertimbangan. Wallahu a’lam.


*Tulisan ini merupakan sambungan cerita dari https://fathanzr.blogspot.com/2024/05/dipertemukan-calon-isteri.html?m=1

Share:

0 komentar:

Posting Komentar