Alhamdulillah
ibu merespon dengan positif “selagi
hatimu mantap dengan pilihanmu, ibu merestui” jawaban yang membuat hati ini
lega sekaligus percaya diri, perasaan terakhir ini kelak di tengah cerita akan
membawa polemik.
Farida (nama
calon istri) memberi kabar bahwa orang tuanya merestui hubungan kami, dan tidak
ada problem terkait hitungan jawa, dia bertanya bagaimana soal hitungan jawa dikeluargaku, apakah aman?.
Keluargaku belum
sampai pembahasan itu, tanpa bermaksud menggampangkan persoalan ini, jawaban
ibu dari percakapan di atas membuatku merasa aman, termasuk dari kemungkinan
terhalang dari hitungan jawa meskipun ibu dan keluarga besar cukup teguh memegang
adat jawa satu ini.
“Sigar Segoro
Geteh”.
Aku lahir dari
rahim pendidikan pesantren, sedikit banyak diperkenalkan Islam dari literatur
kitab turast (kitab anggitan ulama klasik), dewasa melanjutkan belajar di kampus
Islam Semarang. Di lingkungan kampus diperkenalkan dengan buku-buku wacana
Islam liberal-kiri, sementara di keluargaku Bapak adalah mursyid (pemimpin)
tariqah sekaligus menguasai pengetahuan adat jawa.
Pasca Bapak
meninggal keluarga kami “diditipkan” ke
pak Mislan dan mas Syakur. Nama pertama kawan seperjuangan bapak merintis
tariqah, beliau juga Mursyid. Nama kedua masih famili sekaligus dalam tariqah berkedudukan
badal mursyid (pengganti mursyid ketika berhalangan). Secara umum setiap
keputusan besar dalam keluarga kami harus melalui pertimbangan beliau berdua,
terutama pak Mislan.
Suatu hari ibu
membantu masak untuk suatu kegiatan di rumah mas Syakur, disitulah ibu
bercerita tentang hubungan kami. “kui engko ketemune sigar segoro getih, ora
oleh lak ning adat jawa, takok,o Mislan jawabane podo”.Ujar mas Syakur.
Ketika itu aku
mendampingi anak-anak sekolah jalan santai dalam rangka hari besar Islam. Rutenya
kebetulan melewati rumah mas Syakur dan tepat di depan rumah ketika kami berpapasan
ibu bilang “wis bocae lalekno, ketemu sigar segoro getih, mumpung durung adoh (hubungan
kami belum serius)”.
Seketika
wajahku memerah, badanku membeku, perasaanku kalut, hatiku gusar, ibu memintaku
untuk duduk berunding bersama mas Syakur, namun aku enggan, fikiranku buntu,
emosiku tak terkontrol, aku pulang dan mengurung diri di kamar.
Berjibun
pertanyaan muncul di benakku; mengapa ibu mengatakan itu dengan
mudah? menyuruhku melupakan perempuan kuyakini dengannya aku berjodoh!, mengapa ibu
mengatakan itu di tempat umum?, bukankah beberapa waktu lalu ibu bilang akan
merestui hubungan kami? apakah restunya tercerabut semata karena hitungan jawa?,
sepenting itukah hitungan jawa sampai beliau tak mempertimbangkan aspek lain?, apa
itu segoro getih?.
Setelah ibu di
rumah, kami terlibat percakapan sengit, beliau berbicara lirih, menjelaskan apa
itu segoro getih: sederhananya ketika akad/resepsi mempelai pria tidak boleh
melewati rumah kakak. Perlu diketahui kakakku menikah dengan perempuan satu dusun
dengan Farida jadi kemungkinan akan melewati rumah kakak, walaupun ada beberapa
opsi jalan yang memungkinkan untuk tidak melewati rumah kakak.
Aku mencoba
menawar; apakah hal-hal seperti itu tidak bisa dicarikan penangkal. Aku memang
tak tahu menahu perihal hitungan jawa, tapi aku beberapa kali melihat dan
mendengar percakapan Bapak dengan tamunya membicarakan problem serupa. Bapak
bisa mencarikan penangkal.
Ibu tetap
bergeming, beliau mencontohkan beberapa tetangga tak direstui menikah dengan
alasan serupa, akupun mencohtohkan beberapa orang tetap menikah dengan problem
serupa langgeng sampai sekarang.
Mungkin ibu
setengah heran mengapa aku sekeras kepala itu untuk perempuan baru pertama kali
kutemui, jawabannya sederhana karena tidak ada alasan masuk akal untuk aku
melepasnya. Bagiku hitungan jawa bukan faktor determinan seseorang melepaskan perempuan
pilihannya, apalagi niat kami mulia, ibadah selamanya.
Sambil menyeka
air matanya ibu mengatakan ini demi kebaikan kami. Aku pun kembali menegaskan
bahwa aku hanya menginginkan ridho ibu. Akhirnya ibu mengajakku pergi ke rumah
pak Mislan, beliau akan jadi solusi terakhir, apapun keputusan beliau kami
sepakat akan sama-sama menerimanya.
Pukul 11.00 di
tengah guyuran hujan kami diantar keponakan menggunakan mobil ke rumah pak
Mislan. Di perjalanan fikiranku melayang pada ucapan mas Syakur “sekalipun
dikonsultasikan ke pak Mislan jawabannya akan sama (sigar segoro getih)”.
Aku mencoba
membuang jauh-jauh pikiran itu, sepanjang perjalananan tak henti kulantunkan
fatihah untuk Bapak dan pak Mislan, juga kulantunkan salawat jibril.
Sampai sana sekitar
pukul 11.30 Wib, pintu tak langsung dibuka. Disela – sela menunggu fatihah tak
putus kulantunkan sembari memohon kepada Allah Swt keputusan terbaik untuk
kami.
Setelah
menunggu sekitar satu jam kami dipersilahkan masuk, aku mengambil air wudhu,
ibu dan keponakan masuk terlebih dahulu. Setelah bersalaman dengan beliau, tiba-tiba
beliau berujar “sajakke tresnone wis tenanan” . saya hanya menimpali “nggeh”.
Setelah ibu
menyampaikan maksud kedatangan kami, Pak Mislan memintaku menulis nama kami
berdua, tanggal lahir serta pasaran jawanya. Beliau lalu masuk ke kamar.
Sekitar 5 menit berlalu beliau keluar kamar dan berucap dengan lugas “iki apik
Yu ( beliau memanggil ibuk dengan panggilanYu) iso dilanjutne, ning syarate 2, pertama
kudu oleh izine mas’e, kedua sifate ora baku, lak iso sing istri digowo
ngetan (rumahku)”.
Aku dan ibu
tak kuasa menahan air mata, kami menitihkankan air mata haru. Ibu lega apalagi aku.
Alhamdulillah pak Mislan sama sekali tak menyinggung sigar segoro getih.
Ketika pak
Mislan merestui ibu otomatis ikut merestui karena pada dasarnya tidak ada
masalah pada Farida, masalah semata pada hitungan jawa, ketika hal itu ternyata
tidak memberatkan hubungan kami, maka secara otomatis restu kudapatkan.
Malam hari setelah
salat isak aku bergegas ke rumah kakak di Sampung, meminta restu dengan gagah
dan percaya diri, dan seperti harapanku kakak merestui hubungan kami.
Alhamdulillah akhirnya kami mendapatkan restu orang tua.
Tentang Adat (hitungan) Jawa.
Ketika hubungan
kami terancam batal karena perkara hitungan adat jawa, dalam hati aku berjanji
bahwa suatu hari saat punya anak, aku tak akan melarang anakku menikah dengan
pilihannya “hanya” karena hitungan jawa. Selama mereka yakin dengan pilihannya,
bertanggung jawab atas keputusannya, restuku akan kuberikan.
Dalam salah
satu hadist nabi memilih istri berdasarkan 4 hal; harta, nasab, keantikan dan
agama. Dari keempat kriteria tersebut agamalah prioritas utama dan Farida perihal
aspek agama bagiku lebih dari cukup.
Perihal adat jawa
tak menjadi pertimbangan serius untukku ketika memilih Farida meskipun Farida
dan keluargaku menganggap itu penting. Aku pernah mendengar sebagian
orang-orang bilang meyakini sepenuhnya adat jawa sebagai penentu keputusan sama
dengan “musyrik kecil” betapapun penganut adat jawa membantahnya karena secara
bersaman mereka sekaligus muslim-taat.
Bagiku predikat
“musrik kecil” terlalu berlebihan, karena setidaknya orang terdekatku penganut adat
jawa selain muslim-taat dalam derajat tertentu semata untuk melestarikan khazanah
kearifan lokal sekaligus mengohrmati peninggalan ajaran nenek moyang.
Pramodedya
Ananta Toer dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” mengecam keras masyarakat penganut
adat jawa dengan menyebutnya sebagai boneka dari daging dan tulang.
“barang siapa
masih percaya (hitungan jawa) dia hanyalah boneka dari daging dan tulang. Seluruh
jiwanya dikendalikan oleh perhitungan-perhitungan yang tak pernah dapat
dibuktikan kebenarannya. Dia bukanlah manusia bebas, dan tak ada orang lain
dapat membebaskannya dari belenggu klenik daripada dirinya sendiri. Dengan perhitungan
semacam itu orang tak berani mengambil inisiati untuk melakukan sesuatu bila
perhitungan tidak membenarkan. Sebaliknya orang menjadi berlebih – lebihan bila
perhitungan menganjurkan. Maka pribadinya goyah, tidak mantap, kerdil untuk
selama-lamanya karena memang tidak terlatih berpikir bebas tanpa batas”.
Tanpa merendahkan adat jawa, bagiku adat jawa seyogyanya cukup dipelajari sebagai khazanah kearifan lokal dan dalam derajat tertentu dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan tapi tidak untuk diyakini sepenuhnya sebagai kompas takdir yang akan terjadi dimasa depan apalagi dengan mengabaikan aspek – aspek material sebagai pertimbangan. Wallahu a’lam.
*Tulisan ini merupakan sambungan cerita dari https://fathanzr.blogspot.com/2024/05/dipertemukan-calon-isteri.html?m=1
0 komentar:
Posting Komentar