Saat kau bilang bu nyai
menangisiku karena iba kita berpisah sementara disaat pernikahan baru seumur
jagung, aku tak begitu menghiraukannya. Bagiku itu tak lebih dari ekspersi
empati ibu kepada anaknya dan karena bu nyai perempuan, menangis merupakan ekspresi
yang wajar belaka.
Namun
seiring berjalannya waktu tangisan beliau menemukan jalan kesahihannya. Sehari
bagai setahun, seminggu bagai sewindu dan sebulan bagai seabad. Kenyataan bahwa
aku sudah menikah dan punya istri membuat perasaannya tak lagi sama seperti aku
sebelum menikah. Mungkin sama-sama sepi tapi kali ini ekspektasi menanti sosok
kekasih itu benar-benar nyata terang benderang, bukan sekedar angan yang tak
pasti siapa orangnya.
Rapalan
doa setiap salat 5 waktu tak cukup jadi obat, karena harapan baik memang tak
pernah sama dengan rindu. Satu-satunya yang menguatkanku adalah
kenyataan bahwa ini hanya sementara dan cepat atau lambat kita pasti bertemu
kembali.
Perkenalan
kita yang singkat sebagai pribadi membuat adaptasi setelah menikah menjadi
berlipat. Kita beradaptasi saling mengenal sebagai pribadi sekaligus adaptasi
menempatkan diri kita sebagai suami dan istri. Saling mengenal pola perilaku
disaat salah satu dari kita marah apa yang harus dilakukan, disaat sedih apa
formula yang tepat untuk saling jadi obat.
Kita
yang awalnya hidup dengan kesibukan masing-masing, akhirnya saling tenggang
rasa untuk mendukung satu sama lain singkatnya menyesuaikan ini itu. Disaat
adaptasi itu baru seumur jagung karenanya belum benar-benar settel,
kita harus berpisah sementara. Kau menunaikan tanggungan mulia riyadhoh, dari
awal aku sudah berjanji setidaknya pada diriku sendiri untuk selalu mendukung
langkah positif yang ingin kau gapai, bukan hanya untuk riydhoh ini saja
melainkan untuk hal-hal positif lainnya.
Fase ini kembali
mengingatkanku betapa hidup hendaknya harus disyukuri sejengkal-demi sejengkal,
betapa pribadi yang penuh daif ini beruntung memiliki perempuan sepertimu. Alhamdulillah
‘alaa kulli haal.
Tulisan ini dibuat agar suatu saat kita baca kembali dan merasakan
nostalgia bahwa kita pernah mengalami fase “berpisah sementara” untuk kembali
beradaptasi membangun rumah tangga yang menyenangkan, penuh rasa syukur dan
diridhoi Allah. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar