Sabtu, 22 Februari 2025

PPG-Bingung-Dihajar sepi.

 

Tulisan ini kuketik dengan perasaan tak karuan. Tak ada teman cerita, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara waktu seperti mengejarku. Ketika mendapat kabar bahwa ada panggilan PPG aku lega, dengan susah payah beban administrasi kulengkapi sampai pada tahap penempatan LPTK (kampus), aku ditempatkan di IAIN Metro Lampung. Tanggal 24 Feb mulai lapor diri kepada kampus yang bersangkutan.

Sampai tahap ini masih bisa kuatasi sendiri, namun aku baru tahu kalau ada yang namanya RPL, yang kutahui semacam mengumpulkan bahan ajar selama beberapa tahun terakhir. Banyak sekali  istilah – istilah yang baru kujumpai, aku tak mengerti sama sekali. Awalnya aku mengira berkas-berkas menyebalkan ini dikumpulkan setelah kuliah, ternyata sebelum kuliah.

Terakhir berkas dikumpulkan konon tanggal 28 februari (semoga mundur), 27 semoga kamu sudah pulang sayang.

Doaku semoga aku tak stres.

Di situsasi seperti ini muncul pengandaian-pengandaian yang menyebalkan. Andai istriku ada disampingku, aku bisa berbagi keluh kesah dia sedikit banyak pasti bisa membantuku atau minimal meredam emosiku, memberikan semangat di tengah rasa frustasiku.

Besok kegiatan ziarah bersama jamaah toriqah se-Ponorogo 17 makam, kemungkinan sampai malam Tiba-tiba aku kepikiran tidak ikut. Waktu libur bisa kugunakan buat nyicil berkas, tapi tidak tahu bagaimana cara mengutarakan keinginanku. Pasti dibilang berlebihan dsb.

aku berdoa semoga ada jalan keluar, diberi kemudahan dari arah manapun. Aku pasrah padamu ya Rabb.

 

 

Share:

Minggu, 09 Februari 2025

Rindu

 


Saat kau bilang bu nyai menangisiku karena iba kita berpisah sementara disaat pernikahan baru seumur jagung, aku tak begitu menghiraukannya. Bagiku itu tak lebih dari ekspersi empati ibu kepada anaknya dan karena bu nyai perempuan, menangis merupakan ekspresi yang wajar belaka.

            Namun seiring berjalannya waktu tangisan beliau menemukan jalan kesahihannya. Sehari bagai setahun, seminggu bagai sewindu dan sebulan bagai seabad. Kenyataan bahwa aku sudah menikah dan punya istri membuat perasaannya tak lagi sama seperti aku sebelum menikah. Mungkin sama-sama sepi tapi kali ini ekspektasi menanti sosok kekasih itu benar-benar nyata terang benderang, bukan sekedar angan yang tak pasti siapa orangnya.

            Rapalan doa setiap salat 5 waktu tak cukup jadi obat, karena harapan baik memang tak pernah  sama dengan rindu. Satu-satunya yang menguatkanku adalah kenyataan bahwa ini hanya sementara dan cepat atau lambat kita pasti bertemu kembali.

            Perkenalan kita yang singkat sebagai pribadi membuat adaptasi setelah menikah menjadi berlipat. Kita beradaptasi saling mengenal sebagai pribadi sekaligus adaptasi menempatkan diri kita sebagai suami dan istri. Saling mengenal pola perilaku disaat salah satu dari kita marah apa yang harus dilakukan, disaat sedih apa formula yang tepat untuk  saling  jadi obat.

            Kita yang awalnya hidup dengan kesibukan masing-masing, akhirnya saling tenggang rasa untuk mendukung satu sama lain singkatnya menyesuaikan ini itu. Disaat adaptasi itu baru seumur jagung karenanya belum benar-benar settel, kita harus berpisah sementara. Kau menunaikan tanggungan mulia riyadhoh, dari awal aku sudah berjanji setidaknya pada diriku sendiri untuk selalu mendukung langkah positif yang ingin kau gapai, bukan hanya untuk riydhoh ini saja melainkan untuk hal-hal positif lainnya.

Fase ini kembali mengingatkanku betapa hidup hendaknya harus disyukuri sejengkal-demi sejengkal, betapa pribadi yang penuh daif ini beruntung memiliki perempuan sepertimu. Alhamdulillah ‘alaa kulli haal

        Tulisan ini dibuat agar suatu saat kita baca kembali dan merasakan nostalgia bahwa kita pernah mengalami fase “berpisah sementara” untuk kembali beradaptasi membangun rumah tangga yang menyenangkan, penuh rasa syukur dan diridhoi Allah. Aamiin.      

  

 

 

 

 

 

 

 

 

Share:

Selasa, 02 Juli 2024

Perjuangan Menggapai Restu Orang Tua

Beberapa hari pasca kami bertemu, kami berinisiatif untuk bercerita kepada orang tua. Aku bilang kepada ibu bahwa perkenalan ini meskipun singkat kami berupaya untuk menjaga komitmen, pun aku minta ibu untuk terlebih dahulu tidak bercerita pada sanak famili, mengingat kami baru kenal dan ingin lebih mengenal satu sama lain.

Alhamdulillah ibu merespon dengan positif  “selagi hatimu mantap dengan pilihanmu, ibu merestui” jawaban yang membuat hati ini lega sekaligus percaya diri, perasaan terakhir ini kelak di tengah cerita akan membawa polemik.

Farida (nama calon istri) memberi kabar bahwa orang tuanya merestui hubungan kami, dan tidak ada problem terkait hitungan jawa, dia bertanya bagaimana soal hitungan jawa dikeluargaku, apakah aman?.

Keluargaku belum sampai pembahasan itu, tanpa bermaksud menggampangkan persoalan ini, jawaban ibu dari percakapan di atas membuatku merasa aman, termasuk dari kemungkinan terhalang dari hitungan jawa meskipun ibu dan keluarga besar cukup teguh memegang adat jawa satu ini.

 

“Sigar Segoro Geteh”.

Aku lahir dari rahim pendidikan pesantren, sedikit banyak diperkenalkan Islam dari literatur kitab turast (kitab anggitan ulama klasik), dewasa melanjutkan belajar di kampus Islam Semarang. Di lingkungan kampus diperkenalkan dengan buku-buku wacana Islam liberal-kiri, sementara di keluargaku Bapak adalah mursyid (pemimpin) tariqah sekaligus menguasai pengetahuan adat jawa.

Pasca Bapak meninggal keluarga  kami “diditipkan” ke pak Mislan dan mas Syakur. Nama pertama kawan seperjuangan bapak merintis tariqah, beliau juga Mursyid. Nama kedua masih famili sekaligus dalam tariqah berkedudukan badal mursyid (pengganti mursyid ketika berhalangan). Secara umum setiap keputusan besar dalam keluarga kami harus melalui pertimbangan beliau berdua, terutama pak Mislan.

Suatu hari ibu membantu masak untuk suatu kegiatan di rumah mas Syakur, disitulah ibu bercerita tentang hubungan kami. “kui engko ketemune sigar segoro getih, ora oleh lak ning adat jawa, takok,o Mislan jawabane podo”.Ujar mas Syakur.

Ketika itu aku mendampingi anak-anak sekolah jalan santai dalam rangka hari besar Islam. Rutenya kebetulan melewati rumah mas Syakur dan tepat di depan rumah ketika kami berpapasan ibu bilang “wis bocae lalekno, ketemu sigar segoro getih, mumpung durung adoh (hubungan kami belum serius)”.

Seketika wajahku memerah, badanku membeku, perasaanku kalut, hatiku gusar, ibu memintaku untuk duduk berunding bersama mas Syakur, namun aku enggan, fikiranku buntu, emosiku tak terkontrol, aku pulang dan mengurung diri di kamar.

 

Berjibun pertanyaan muncul di benakku; mengapa ibu mengatakan itu dengan mudah? menyuruhku melupakan perempuan kuyakini dengannya aku berjodoh!, mengapa ibu mengatakan itu di tempat umum?, bukankah beberapa waktu lalu ibu bilang akan merestui hubungan kami? apakah restunya tercerabut semata karena hitungan jawa?, sepenting itukah hitungan jawa sampai beliau tak mempertimbangkan aspek lain?, apa itu segoro getih?.

Setelah ibu di rumah, kami terlibat percakapan sengit, beliau berbicara lirih, menjelaskan apa itu segoro getih: sederhananya ketika akad/resepsi mempelai pria tidak boleh melewati rumah kakak. Perlu diketahui kakakku menikah dengan perempuan satu dusun dengan Farida jadi kemungkinan akan melewati rumah kakak, walaupun ada beberapa opsi jalan yang memungkinkan untuk tidak melewati rumah kakak.

Aku mencoba menawar; apakah hal-hal seperti itu tidak bisa dicarikan penangkal. Aku memang tak tahu menahu perihal hitungan jawa, tapi aku beberapa kali melihat dan mendengar percakapan Bapak dengan tamunya membicarakan problem serupa. Bapak bisa mencarikan penangkal.

Ibu tetap bergeming, beliau mencontohkan beberapa tetangga tak direstui menikah dengan alasan serupa, akupun mencohtohkan beberapa orang tetap menikah dengan problem serupa langgeng sampai sekarang.

Mungkin ibu setengah heran mengapa aku sekeras kepala itu untuk perempuan baru pertama kali kutemui, jawabannya sederhana karena tidak ada alasan masuk akal untuk aku melepasnya. Bagiku hitungan jawa bukan faktor determinan seseorang melepaskan perempuan pilihannya, apalagi niat kami mulia, ibadah selamanya.

Sambil menyeka air matanya ibu mengatakan ini demi kebaikan kami. Aku pun kembali menegaskan bahwa aku hanya menginginkan ridho ibu. Akhirnya ibu mengajakku pergi ke rumah pak Mislan, beliau akan jadi solusi terakhir, apapun keputusan beliau kami sepakat akan sama-sama menerimanya.

Pukul 11.00 di tengah guyuran hujan kami diantar keponakan menggunakan mobil ke rumah pak Mislan. Di perjalanan fikiranku melayang pada ucapan mas Syakur “sekalipun dikonsultasikan ke pak Mislan jawabannya akan sama (sigar segoro getih)”.

Aku mencoba membuang jauh-jauh pikiran itu, sepanjang perjalananan tak henti kulantunkan fatihah untuk Bapak dan pak Mislan, juga kulantunkan salawat jibril.

Sampai sana sekitar pukul 11.30 Wib, pintu tak langsung dibuka. Disela – sela menunggu fatihah tak putus kulantunkan sembari memohon kepada Allah Swt keputusan terbaik untuk kami.

Setelah menunggu sekitar satu jam kami dipersilahkan masuk, aku mengambil air wudhu, ibu dan keponakan masuk terlebih dahulu. Setelah bersalaman dengan beliau, tiba-tiba beliau berujar “sajakke tresnone wis tenanan” . saya hanya menimpali “nggeh”.

Setelah ibu menyampaikan maksud kedatangan kami, Pak Mislan memintaku menulis nama kami berdua, tanggal lahir serta pasaran jawanya. Beliau lalu masuk ke kamar. Sekitar 5 menit berlalu beliau keluar kamar dan berucap dengan lugas “iki apik Yu ( beliau memanggil ibuk dengan panggilanYu) iso dilanjutne, ning syarate 2, pertama kudu oleh izine mas’e, kedua sifate ora baku, lak iso sing istri digowo ngetan (rumahku)”.

Aku dan ibu tak kuasa menahan air mata, kami menitihkankan air mata haru. Ibu lega apalagi aku. Alhamdulillah pak Mislan sama sekali tak menyinggung sigar segoro getih.

Ketika pak Mislan merestui ibu otomatis ikut merestui karena pada dasarnya tidak ada masalah pada Farida, masalah semata pada hitungan jawa, ketika hal itu ternyata tidak memberatkan hubungan kami, maka secara otomatis restu kudapatkan.

Malam hari setelah salat isak aku bergegas ke rumah kakak di Sampung, meminta restu dengan gagah dan percaya diri, dan seperti harapanku kakak merestui hubungan kami. Alhamdulillah akhirnya kami mendapatkan restu orang tua.

Tentang Adat (hitungan) Jawa.

Ketika hubungan kami terancam batal karena perkara hitungan adat jawa, dalam hati aku berjanji bahwa suatu hari saat punya anak, aku tak akan melarang anakku menikah dengan pilihannya “hanya” karena hitungan jawa. Selama mereka yakin dengan pilihannya, bertanggung jawab atas keputusannya, restuku akan kuberikan.

Dalam salah satu hadist nabi memilih istri berdasarkan 4 hal; harta, nasab, keantikan dan agama. Dari keempat kriteria tersebut agamalah prioritas utama dan Farida perihal aspek agama bagiku lebih dari cukup.

Perihal adat jawa tak menjadi pertimbangan serius untukku ketika memilih Farida meskipun Farida dan keluargaku menganggap itu penting. Aku pernah mendengar sebagian orang-orang bilang meyakini sepenuhnya adat jawa sebagai penentu keputusan sama dengan “musyrik kecil” betapapun penganut adat jawa membantahnya karena secara bersaman mereka sekaligus muslim-taat.

Bagiku predikat “musrik kecil” terlalu berlebihan, karena setidaknya orang terdekatku penganut adat jawa selain muslim-taat dalam derajat tertentu semata untuk melestarikan khazanah kearifan lokal sekaligus mengohrmati peninggalan ajaran nenek moyang.

Pramodedya Ananta Toer dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” mengecam keras masyarakat penganut adat jawa dengan menyebutnya sebagai boneka dari daging dan tulang.

“barang siapa masih percaya (hitungan jawa) dia hanyalah boneka dari daging dan tulang. Seluruh jiwanya dikendalikan oleh perhitungan-perhitungan yang tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Dia bukanlah manusia bebas, dan tak ada orang lain dapat membebaskannya dari belenggu klenik daripada dirinya sendiri. Dengan perhitungan semacam itu orang tak berani mengambil inisiati untuk melakukan sesuatu bila perhitungan tidak membenarkan. Sebaliknya orang menjadi berlebih – lebihan bila perhitungan menganjurkan. Maka pribadinya goyah, tidak mantap, kerdil untuk selama-lamanya karena memang tidak terlatih berpikir bebas tanpa batas”.

Tanpa merendahkan adat jawa, bagiku adat jawa seyogyanya cukup dipelajari sebagai khazanah kearifan lokal dan dalam derajat tertentu dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan tapi tidak untuk diyakini sepenuhnya sebagai kompas takdir yang akan terjadi dimasa depan apalagi dengan mengabaikan aspek – aspek material sebagai pertimbangan. Wallahu a’lam.


*Tulisan ini merupakan sambungan cerita dari https://fathanzr.blogspot.com/2024/05/dipertemukan-calon-isteri.html?m=1

Share:

Sabtu, 18 Mei 2024

Dipertemukan Calon Istri.

 




Hidup berjalan dari satu fase ke fase selanjutnya. Bagiku dalam menentukan fase kehidupan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya; umur,finansial, dan mental. Lelaki kelahiran 1995 seperti diriku umumnya mulai berfikir untuk menikah,termasuk diriku. Sambil menjalani aktifitas sehari-hari diriku mempertimbangkan hal-hal di atas.  

Namun uniknya semakin ke sini pertimbangan di atas jauh dari kata ideal. Sementara dalam benakku kerapkali bertanya apakah semuanya harus ideal menurut kita?, apakah ideal yang kita impikan adalah ideal yang “hakiki”?, bagaimana jika ideal itu pada kenyataannya tidak pernah terwujud? Apakah diriku tak akan menikah? 

Akhirnya muara dari pertanyaan-pertanyaan duniawi di atas mengarah pada satu jawaban yang cukup menentramkan hati. Niatkan menikah untuk ibadah selamanya, maka niscaya Tuhan akan menatanya.

Akhirnnya mantap Bismillah, menikah!.

Problem berikutnya siapa calonnya?

Mencari Jodoh Melalui Wasilah Kawan.

Masa remaja pendidikanku kulalui di salah satu pesantren di Ponorogo – kuliah merantau di ibukota Jawa Tengah. Di pesantren tentu belum ada fikiran menikah, adapun kenalan perempuan di Semarang rata-rata rumahnya di wilayah Jawa Tengah sementara jauh hari ibu pernah berpesan untuk mencari istri yang domisilinya relatif dekat dengan rumahku. 

Alasannya, pertama ibu ingin dekat dengan besan, kedua ibu tak ingin anaknya  ketika pulang kampung tak keberatan waktu, tenaga dan biaya. Pulang kuliah tidak ada circle yang memungkinkan diriku kenal dengan perempuan, akhirnya aku minta tolong teman-temanku untuk mengenalkan teman perempuannya. 

Sambut bergayung beberapa kawan, bahkan sanak keluarga “menawarkan” kenalan. Semua proses kujalani dalam rangka ikhtiar mencari jodoh, hingga akhirnya dipertemukan dengan perempuan yang kelak jadi calon istriku, “dia ngabdi di pondok al-kholili” begitulah awal tawaran perkenalan itu. seorang kawan yang kebetulan tetanggaku mengenalkan temannya, selebihnya saya telisik sendiri.

Awalnya yang bersangkutan tidak berkenan untuk kenalan dengan alasan masih belum selesai belajar di pondok, dan waktu itu pikirku ya sudah jika yang bersangkutan tidak berkenan. Toh, tak elok jika memaksakan kehendak.

Beberapa minggu setelahnya saya iseng melihat status instagramnya dan mengirim pesan langsung. Alhamdulillah dari situ kita awal mula berbalas pesan. Kami semakin intens berbalas pesan. Dia melihat instagramku difollow mbak Ratna, kebetulan dia juga kenal yang bersangkutan. Mbak Ratna ini dulu kakak kelas dua tahun di atasku, kami kenal karena sama-sama pernah mengemban amanah ketua OSIS.

Dari mbak Ratna kutahu banyak hal tentangnya dan lewat beliau pula saya utarakan niat  untuk kenal serius. Jika cocok lanjut membicarakan prospek berjodoh, kalau tidak ya cukup menjadi teman. Alhamdulillah berkat rekomendasi mbak Ratna, sang calon berkenan berkenalan lebih jauh dalam rangka ikhtiar berjodoh. Awalnya kami berbincang lewat gawai- whatsapp setelah dirasa punya kecocokan kami memtutuskan untuk bertemu.

Sebelum memutuskan bertemu, kami menjalin kesepakatan bahwa kita akan membicarakan apapun yang perlu dibicarakan dalam rangka mengijmaniaskan what if  kita menikah? Cocokkah? Mulai dari latar belakang pendidikan kami, keluarga, pekerjaan, kondisi keuangan, apakah masing-masing punya hutang dalam jumlah besar?, dsb. Termasuk dalam aspek fisik-sifat apakah kami menerima masing-masing kekurangan?. jika kami tidak cocok, maka salah kami harus segera mengutarakan, pun sebaliknya jika cocok segera konfirmasi.

Insecure

Kami bertemu di salah satu kafe dekat pusat kota, dia datang terlebih dahulu karena ada tanggungan nembel kitab, sementara diriku sibuk menyiapkan kegiatan pengajian di masjid Dusun. Terik matahari menemani perjalananku bertemu dengannya. Untungnya kami bertemu di kafe dengan fasilitas AC, lumayan membantu sedikit menyamarkan muka kusamku. 

Bergamis hitam, berkaca-mata, khusuk dengan kitabnya. Kulitnya putih bersih, wajahnya ayu dengan hiasan make-up tipis. ”Maaf ya telat ucapku mengawali pembicarakan. Kami ngobrol sekitar satu setengah jam, dari isi obrolan kami, dia cukup dewasa, dan yang paling melegakan kami nyambung satu sama lain ketika ngobrol. Cantik, pintar, mandiri. Sementara diriku? insecure.

Malam hari aku ikhtiar salat istikharah, beberapa kali, namun petunjuk tak kunjung datang. Hatiku mencoba untuk tenang, disuatu kesempatan diriku teringat satu cuplikan pesan almaghfurlah K.H Idris Marzuqi Lirboyo. Jika merasa cocok satu sama lain, langsung lamar tak perlu istikharah. Saya mantap, tapi dia apakah merasakan hal yang sama denganku?.

Beberapa hari berselang aku menanyakan tentang kelanjutan hubungan kami. Dia mengaku tidak hal yang membuatnya tidak melanjutkan hubungan ini. Ya Tuhan alhamdulillah, batinku tak henti merapal syukur. Akhirnya aku menemukan orang yang aku cintai dan mencintaiku, meskipun restu berlapis harus kami tempuh, setidaknya kami siap berkomitmen menuju halal. Bersambung.

 

 

 

 

 

 

 

  

Share:

Kamis, 09 Februari 2023

Sepasang Sahabat.

Sepasang Sahabat 

Dalam momen-momen tertentu, terkadang sahabat memliki arti lebih dalam hidup kita. Beberapa cerita mungkin hanya kuasa kita ceritakan pada sahabat. Ada satu dan lain hal yang membuat kita tak kuasa bercerita tentang getirnya kehidupan kepada orang terdekat kita secara biologis. Salah satu alasannya agar orang terdekat kita tak ikut menanggung apa yang kita rasakan, karena mungkin disaat kita sudah selesai dengan kesedihan, orang terdekat kita tak kunjung usai memikirkan kepedihan kita.

Beberapa tahun kebelakang ada banyak momen bersejarah dalam hidupku yang rasa-rasanya saat itu terbesit ingin kutulis untuk sekedar dikenang dalam catatan memori dikemudian hari. Mulai dari demam berdarah yang nyaris merenggut nyawaku hingga pencapain naik ke puncak Lawu. Toh itu semua nyatanya tak berakhir dalam catatan pendek blog ini. Alasannya pun beragam, dari malas, merasa tak punya cukup waktu luang hingga aku sendiri tak menganggap momen itu menarik untuk diceritakan. Singkat kata tak ada gairah menulis.

Sampai akhirnya dimomen aku ingin kembali menulis catatan pendek di blog ini. Seperti pemantik awal paragraf ini, catatan ini bertemakan sepasang sahabat.

Beberapa hari terakhir hatiku gelisah karena asmara. Perasaan yang aku sendiri lupa kapan mengalaminya, mungkin kisaran 2017, ah tapi itu tak penting. Bukannya patah hati ada untuk dilupakan?.

Saat ini aku merasa difase siap kembali berkenalan dengan perempuan, bukan untuk sekedar pacaran, tapi menikah. Ya menikah. Perasaan alamiah seorang pemuda yang 2 tahun lagi berumur 30 (cuk gelis bianget).

Satu waktu seorang sahabat memposting status whatsapp dengan beberapa temannya. Mataku tertuju pada salah satu diantaranya, aku tertarik, kuminta informasi akun instagramnya, tak butuh waktu lama untuk kami berkenalan dan dekat satu sama lain.

Sempat difase “mungkin ini orangnya” , kalau ditanya apa alasannya? satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan dengan pasti adalah kami sama-sama diumur yang “pantas” untuk menikah. Tapi ternyata takdir tak menghendaki ia menjadi lakon dalam kisah hidupku, melainkan sebatas figur antagonis semata.

Layaknya pria patah hati, aku sedih tapi sebatas wajar, tak ada alasan masuk akal untuk berlarut dalam kegalauan patah hati ini, mengingat diriku pernah menjalin hubungan empat tahun dan berakhir kandas.

Di tengah kegalauan itu aku mencoba berusaha sampai titik darah penghabisan agar cintaku tak begitu saja selesai, setidaknya kalaupun berakhir pahit aku telah melakukan usaha semampuku.

Hal paling ku ingat dari serangkaian usaha itu adalah saat diriku menelpon sepasang sahabat yang memperkenalkanku pada perempuan tadi, mulai curhat dari bagaiamana perasaanku hingga meminta masukan-masukan positif tentang masa depan hubunganku. 

Suatu hal yang belakangan kusadari bahwa itu hanya sebatas tindakan impulsif. Tapi aku juga punya alasan kuat mengapa melakukan tindakan tersebut. Aku ingin semuanya cepat selesai agar perasaan tak pasti saat itu tidak menganggu kegiatanku sehari-hari betapapun keputusan itu dalam konteks asmara pada akhirnya tak menguntungkan bagiku.  

Aku tak tahu apakah waktu itu sepasang sahabatku menganggap diriku impulsif? yang jelas aku sendiri membayangkan tak mudah menghadapi diriku sendiri. Mereka mendengarkan curhatanku dengan penuh antusias, memberikan masukan-masukan positif dan sesekali melempar joke agar aku tak “gila”.

Bagaimana cara mereka menghadapiku adalah alasan mengapa catatan ini kutulis. Kombinasi antara sabar – empati adalah sifat yang tepat untuk menggambarkan kedua sahabatku dalam menghadapiku.  

Perpaduan sifat yang tak kumiliki saat beberapa waktu lalu sahabatku yang lain mengungkapkan kegalauannya karena perempuan yang akan dinikahinya dijodohkan dengan lelaki lain. Diriku antusias mendengarkan tapi bukan dengan gestur empati melainkan hanya untuk menertawakan kisahnya. Karena hal tersebut beberapa hari terakhir hatiku diliputi rasa bersalah, beruntung hal itu segera terobati setelah mendengar bahwa sahabatku ini tunangan dengan wanita pujaannya.

Pada akhirnya sahabat akan terus punya tempat dalam hati kita. Dan soal jodoh, seperti halnya kematian, hanya Tuhan yang tahu. Wallahu a’lam.

 

 

Share:

Jumat, 06 Agustus 2021

Suwargi Langgeng; Ndan Sidu.


Subuh menjelang fajar menyingsing, kabar duka kembali menghampiri. “Pak Dari wafat” dikirim pukul 01.00 WIB dini hari oleh keponakan. Seketika imaji saya melayang pada sosok tubuh besar, tegap,kokoh bak patung dewa Yunani. Anak – anak muda NU di kampung memanggilnya “Ndan Sido”. 

Beberapa hari terakhir beliau memang isolasi mandiri, kurang tahu pasti dari mana beliau tertular, yang pasti hampir setiap RT di kampung kami ada yang sakit, kebanyakan dari mereka inisiatif isolasi mandiri. Ada yang sembuh, beberapa menghadap sang Khaliq.

Saya dan kawan-kawan Anshor sekitar seminggu yang lalu baru saja mengirimkan bantuan sembako dari NU ditujukan kepada warga yang isolasi mandiri, salah satunya beliau.

“matur suwun lo mas” frasa yang rasa-rasanya baru kemarin diucapkan beliau pada kami. Bahkan belum ada satu bulan rasanya beliau mengundang saya untuk ikut tahlilan 7 hari wafat adiknya, selang 21 hari kakaknya ikut menyusul “pulang”.

Pagi dinihari tadi Pak Dari menyusul kedua saudaranya. Bagi saya pak Dari sosok yang ramah. Kecintaannnya pada Kiai dan NU tiada tanding. Sepanjang hayatnya ia dedikasikan waktu fikiran dan tenaganya untu NU.

Darinya, terpancar aura ketulusan dalam berkhidmah untuk NU. 

Gus Dur dalam sebuah wawancara mengatakan “NU itu ya Kiai-Kiai kampung itu, orang yang berjuang tulus ngurus NU “. Kiai Kampung atau dan mereka akivis NU di kampung bagi Gus Dur barangkali relatif terhindar dari kepentingan politik praktis.

Penekanannya bukan pada aspek geografisnya (kampung) melainkan pada ketulusunnya dalam berjuang.

Saya melihat deskripsi Gus Dur di atas pada sosok pak Dari. Beliau adalah apa yang didefinisikan Gus Dur sebagai mereka yang berjuang dengan tulus untuk NU,lebih luas untuk kebaikan.

Suwargi langgerng Ndan Sidu, mohon kirim salam buat bapak. Alfaatihah.

Polorejo 7 Agustus 2021.

Share:

Selasa, 16 Maret 2021

Cumbri; Melawan Hasrat Berswafoto.

 




.

Ketika kemarin kami dihadapkan pilihan antara puncak cumbri dan mongkrang kami memang memilih cumbri, namun itu tak serta merta memalingkan kami sepenuhnya dari cumbri. Dalam rangka mengisi kekosongan malam minggu. Kami memutuskan untuk mendaki cumbri. Sebuah bukit yang terletak diantara perbatasan wilayah Ponorogo-Wonogiri dengan ketinggian kurang dari 1000 Mdpl.

Awalnya kami berencana ber-enam. Namun karena sebagian berhalangan, akhirnya tiga orang tersisa, aku, Huda dan Rizki. Berbekal pengalaman mendaki dua bukit; Pringgitan dan Mongkrang kali ini kami lebih rileks dalam persiapan. “ kita Tek-tokan (baca;naik puncak langsung turun tanpa bermalam, istilah populer para pendaki) aja ya” aku menawarkan opsi dan yang lain setuju tanpa mendebat.

Awalnya kami merencanakan mulai naik sekitar pukul 02.00 wib dinihari untuk menghindari menunggu sunrise terlalu lama. Namun kami menyadari potensi malas berangkat pada jam-jam tersebut. Pada praktiknya saya dan Rizki berangkat jam 20.00 WIB menuju kediaman Huda, rumah paling dekat menuju Pager Ukir tempat pos pendakian.

Sebenarnya ada dua jalur pendakian, pertama Pager Ukir Sampung masuk wilayah Ponorogo Jawa Timur, Kedua Purwantoro masuk wilayah Wonogiri Jawa Tengah. Yang pertama memiliki jarak tempuh lebih pendek daripada kedua.

Setelah sampai di kediaman Huda kami packing mempersiapkan konsumsi dan peralatan  secukupnya. Sambil menuggu waktu lebih larut kami berbincang santai.

Takut makin lama makin malas gerak, sekitar pukul 23.00 kami memutuskan jalan, di perjalanan menuju Pager Ukir kami menjumpai jalan buntu dan rusak yang hampir mustahil dilewati, untungnya Rizki yang  sudah lebih dari sekali ke Cumbri punya beberapa opsi jalan. Yang terakhir jalannya beraspal mulus. Dalam benakku bertanya “ kenapa tidak dari tadi lewat sini Riz? Hmmm”.

Kami mulai naik sekitar pukul 23.30 Wib, naik dengan pelan sambil sesekali istirahat. Kami mencoba sesantai mungkin agar sampai puncak sudah dinihari.  Pendakian dipimpin Rizki sang leader, dia yang paling paham soal seluk beluk pendakian. Di tengah aku, orang yang paling rentan fisiknya dan terakhir Huda sang sweeper, selain yang paling besar diantara kami, dia juga paling sabar, terbukti ketika pendakian di Mongkrang silam.

Dalam perajalanan tidak ada kendala berarti, aku yang biasanya mengalami encok di punggung kali ini tak merasakannya, hanya sesekali capek, tapi tak seberapa. Huda yang mulanya mengeluh sakit perut seiring berjalannya waktu membaik. 

Sekitar satu jam kami mendaki tibalah kami di punggungan cumbri, relatif  cepat, aku pribadi tak menyangka secepat itu. Di punggungan kami beristrirahat lumayan lama. Hingga sekitar pukul 02.00 wib, kami lanjutkan naik ke puncak cumbri, puncaknya menyerupai bebatuan besar bersandingan, hampir tak ditemukan dataran yang cukup untuk digunakan mendirikan tenda, para pendaki mendirikan tenda di punggungan itupun tak benar-benar rata. Kami sendiri beristirahat dan masak – masak ditempat yang kami anggap paling ideal.

Selesai menikmati hidangan kopi, sosis dan mi instan, rasa kantuk menyerangku. Aku tertidur tapi tak pulas, begitupun Huda ia tidur dengan posisi duduk sedangkan Rizki terjaga dengan ditemani gawainya.

Jelas kami berdua tak pulas, selain tidak ada bidang datar untuk tidur, kami tak bawa tenda sedangkan angin berhembus sangat kencang menembus pori-pori kulit kami. Sesekali aku bangun dan reflek minta turun pada Rizki, ia menyanggupi dengan syarat permainan mobile legend-nya kelar.

Aku menunggunya sampai tak terasa kembali tertidur lagi, bangun kedua kalinya dengan permintaan  yang sama, kali ini Huda menimpali dengan setengah sadar “ di sini aja dulu” pintanya dengan masih di posisi tidur yang sama; yakni duduk.

Rasa-rasanya aku tak kuat menahan dingin sampai waktu sunrise muncul, sedangkan disitulah momen paling indah untuk berswafoto. Apalagi yang diharapkan dari mendaki selain itu?. aku sempat khawatir mereka kecewa.

Namun tak lama berselang Huda juga mengajak turun. “ayo turung ngapain lama-lama”. Akhirnya kami berkemas dan sekali dua kali mengambil gambar, walaupun ala kadarnya karena kondisi masih gelap.

Saat itu nampaknya kita satu persepsi bahwa hal terindah dari naik gunung adalah proses perjalanan itu sendiri. Urusan foto bukanlah prioritas utama. Jika memungkinkan kita abadikan, jika tidak, biarkan Tuhan yang mengabadikan. Pagi itu kami berhasil mengalahkan hasrat berswafoto.

Share:

Kamis, 18 Februari 2021

Mongkrang 2194 Mdpl: Pengalaman Pertama Kali Muncak.

Aku masih ingat betul tanggal 2 Januari malam, salah satu dari kami memberi kode tipis dengan intonasi setengah bertanya “bar iki gas lawu wani po ra ki?” beberapa detik tak ada suara,hanya angin kencang bukit Pringgitan yang terde
ngar. Nampaknya 5 pemuda pecinta alam amatiran ini tahu, modal semangat saja tidak cukup untuk menyusuri gunung Lawu, apalagi salah satu dari 5 pemuda itu yang tak lain dan tak bukan adalah saya baru saja bertungkus lumus jatuh bangun untuk mencapai puncak pringgitan yang tingginya hanya sekitar 600 Mdpl.

sek golek gunung sing rodok cendek gawe pemanasan lur”jawabku setengah berasalan.

“cumbri opo mongkrang?, kui pilihane” Rizki memberi opsi. Tak butuh debat panjang untuk memilih Mongkrang. Selain satupun dari kami belum pernah kesana, mongkrang konon menjanjikan pemandangan lawu yang menjadi tujuan akhir kami.

Tanggal 6 Februari kami sepakat untuk memberi notifikasi pada gawai masing-masing sebagai tanda hari itu adalah hari dimana kami memulai perjalanan. Satu anggota bernama Is menggenapi satu tim kami. Aku,Is, Huda, Rizki, Angga, Khoiron.

Seminggu menjelang pemberangkatan hampir setiap obrolan WA grup selalu mengingatkan tentang persiapan muncak. Kalau dalam istilah jawa Wis koyok iyok yok o!.

Hari yang ditunggu-tunggu datang, kami memulai perjalanan, sampai camp registrasi kami pukul 20.00 Wib. Sebelum sampai camp kami menyempatkan mengisi perut diwarung terdekat dan salat maghrib – isya.

Perjalanan kami diiringi dua perempuan yang kebetulan sudah hafal jalur ini. Di awal perjalanan saya nampak tidak ada kendala, tidak seperti sebelumnya yang sedikit dikit  minta istirahat. Sampai pada separuh lebih perjalanan tiba-tiba saya merasa mual seperti akan mengeluarkan sesuatu dan sooooorrrr muntahan tak bisa lagi dihindari. Ingatan saya melayang pada salah satu kawan di Semarang yang pernah cerita bahwa pertama kali ia muncak ia mengalami muntah diperjalanan, tapi setelah itu badan enteng katanya.

Hal itu juga yang saya rasakan, badan langsung terasa enteng meskipun faktor pergantian tas ransel ringan juga mempengaruhi.

Setelah perjalanan sekitar dua jam, puncak akhirnya kami gapai, sangat capek dan sesekali nafas tersengal. Namun recovery saya terhitung cepat, itu dibuktikan dengan saya langsung ikut bantu mendirikan tenda. Tidak demikian dengan Khoiron, dari awal ia nampak kurang sehat, sakit memang sudah ia idap 2 hari sebelum muncak. Walhasil setelah tenda berdiri ia langsung tidur

Kami segera masak sosis dan menyeduh kopi sambil sesekali menggunjingkan keadaan. Saya orang kedua yang tidur setelah Khoiron. 

Sayup-sayup pengajian gus Baha terdengar dari mp3 salah satu kawan, ketika pengajian berhenti saya kembali terjaga. Seakan berhentinya lantunan ceramah tadi seperti selimut yang ditarik dari balutan tubuhku.

Aku bangkit, begitupun Angga yang tidur disampingku “ jam piro iki?” tanyanya.

 

sek jam telu Ngga” jawabku.”Kawit mau kok jam telu wae” keluh Angga sambil menunjukkan ekspresi menggigil yang tak bisa ia sembunyikan.

turuo sek am telu ki”  tukas Riski. “la iyo” Huda menimpali dengan ekspresi terganggu atas kegaduhan kami berdua.

Angga terus mengajakku bercanda sambil merapartkan dada dan lututnya, tangannya melingkar mengitari kedua kakinya yang ia tekuk rapat-rapat. Sementara kami bertiga aku, Huda dan Riski tetap dalam posisi berbaring.

Angin kencang disertai embun deras memang mewarnai malam kami, tenda kami basah, air sedikit meresap. Pakaian yang kami memang tak sampai basah namun dingin terasa masuk hingga ke sendi-sendi tulang.

mapano kene lo Ngga” pintaku pada Angga untuk segera tidur kembali, ia tidak mau dengan alasan tepat di atas alas tidurnya terdapat akar pohon timbul ke atas permukaan tanah yang mengngganjal punggungnya. Ada ada saja batinku.

Setelah itu tiba-tiba aku terbangun lagi, mendapati langit mulai cerah, namun kabut sangat tebal. Ekspektasi pemandangan lawu yang kami impikan jauh-jauh hari tak tampak. Harapan itu sirna, meskipun kabut sempat tersibak untuk menujukkan indahnya pemandangan lawu yang indah pada kami, nyatanya itu tak berlangsung lama dan tidak sempat mengabadikannya. Biarlah mata dan memori ini yang mengabadikan untuk sesekali kami ingat dikemudian hari.

Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB meskipun registrasi kami sampai pukul 10.00 wib kami melihat para pedndaki di sekliling kami mulai mengemas tenda kabutpun menunjukkan tidak ada tanda – tanda untuk hilang. Akhirnya kami turut bergegas, bareng bareng turun.

Lima menit perjalanan, turun gerimis dengan intensitas sedang mengiringi kami, aku dan Huda sempat berbincang bahwa gerimis ini efek dari kabut tebal. Tak berselang lama ternyata dugaan kami salah.

Tanpa aba-aba hujan turun dengan sangat lebat, kami bergegas mengamankan gawai, tas serta memakai mantel, awalnya aku tak yakin kami turun dengan keadaan hujan deras ditambah Khoiron sudah tiga kali terjatuh. Akhirnya Is salah satu kawan paling berpengalaman perihal naik gunung meykainkan bahwa kami bisa turun dengan menapaki aliran air untuk menghindari medan licin. Setapak demi setapak kami melewati medan curam.

Ditengah perjalanan badai angin berhembus kencan kami meutuskan istirahat bersamaan dengan rombongan lain. Setelah  dirasa cukup aman, kami melanutkan perjalanan hingga tak terasa pos regitstrasi di depan mata. Di depan gerbang kami sempatkan berswafoto. Hujan saat itu masih lumayan deras dan kami memutuskan langsung pulang. Sekian   

 

Share:

Jumat, 11 Desember 2020

Tentang Hilangnya Cita Rasa Pedas Dari Masakan Ibu.

 




Sampai detik ini saya masih menganggap masakan ibu merupakan masakan paling enak. Barangkali klaim saya jamak dirasakan oleh anak pada ibunya. Sosok yang memasakkan kita dari kecil sehingga  cita rasanya sudah ngapal di lidah kita sebagai anak atau kita bisa request sesuka hati hingga ibu kita juga hapal selera anaknya.

Catatan ini saya buat setelah belakangan saya sadar ada pergeseran cita rasa masakan ibu terhadap apapun yang ia masak. Beliau sudah tak mau lagi atau lebih tepatnya tidak kuat memakan makanan pedas. Ibu punya riwayat mag, beberapa kali sakitnya kambuh karena tak sengaja kemasukan makanan pedas, setidaknya  itu penyebab yang ia yakini. Paling mutakhir malam ke-dua puluh delapan bulan puasa tahun  kemarin. Setelah selesai membaca Alquran sebuah syukuran kecil dilaksanakan jamaah ibu-ibu musholla RT. Acaranya makan-makan dengan menu tumpeng serta lalapan hasil olahan-olahan ibu-ibu jamaah sendiri, teknisnya dibagi tugas sesuai kesepakatan mereka . Mereka mengaji sendiri, syukuran juga masak sendiri hal yang nampaknya terlalu merepotkan untuk kaum bapak-bapak.

Tepat diacara syukuran kecil-kecilan itulah ibu tak sengaja kebagian lalapan krawu pedas. Besok malamnya beliau tak kuasa menahan rasa sakit sampai hari lebaran kupat. kurun waktu yang tidak sebentar sementara ibu memlih menahan rasa sakit di rumah dengan minum obat seadanya dari mantri desa. Kami anaknya sebenarnya tak kurang-kurang membujuknya untuk bersedia dirujuk ke rumah sakit, hingga pada suatu malam ia tak kuat menahan sakit. Rasa sakit luar biasa yang akhirnya meruntuhkan pendiriannya. Kami sudah siap-siap pergi ke rumah sakit, jam dinding menunjukan pukul 23.00 WIB. Saat motor sudah siap dinyalakan tiba-tiba ibu bilang ingin buang air besar, setelah selesai buang air besar ia mengaku sudah baikan dan kamipun tak jadi ke rumah sakit.

Esoknya ibu mengaku sudah sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa, ya secepat itu. Semalam mengeluh luar biasa, paginya mengaku sembuh. Saya sejujurnya tidak benar-benar bisa membedakan beliau sembuh dalam arti yang sesungguhnya atau hanya ingin semua terlihat baik-baik saja. Yang jelas setelah itu keadaan memang baik-baik saja. Namun tidak untuk cita rasa masakan ibu. Akumulasi kambuhnya mag ibu membuatnya seperti tak lagi bisa membedakan mana masakan pedas dan tidak.

Ibuku sama seperti ibu pada umumnya yang selalu mengerti apa cita rasa masakan anaknya. Saya suka masakan asin-pedas. Ibuku tahu itu sehingga setiap masakan yang ia hidangkan untuk-ku sudah pasti memenuhi syarat di atas. Beda cerita dengan almarhum bapak yang sudah lama juga tak makan pedas, kalau bapak perkaranya penyakit lambung. Ibu dan bapak punya satu cita rasa masakan yang sama, sama-sama anti pedas,intensitas memasakkan hidangan untuk bapak jauh lebih tinggi daripada saya yang sejak kecil merantau. Barangkali perkara terakhir juga punya pengaruh.

Setelah bapak meninggal dan saya menetap di rumah, hidangan ibu perlahan mulai saya rasakan berubah. Saya sendiri kurang tahu kapan tepatnya ibu tak lagi “bisa” masak masakan pedas. Hanya aspek asin-manis yang tersisa, rasa pedas sudah hilang sama sekali. Terakhir beliau masak rica-rica

“kali ini rica-ricanya pedas banget lo, coba cicipin kurang pedas nggak?”  seloroh ibu setengah mengingatkan. Peringatan yang rasa-rasanya sudah sering ibu sampaikan dan seperti biasa setelah mencicipi satu irisan daging saya tak merasakan sama sekali rasa pedas, hanya asin dan manis khas bumbu rempah-rempah. Ibu tahu masakannya kurang pedas atau bahkan tak pedas sama sekali setelah melihat ekspresi wajah anaknya yang menandakan raut muka datar.

“padahal udah tak tambahi mrica dan lombok dua kali lipat dari biasanya, tak cicipi pedas banget”. Klaimnya dengan penuh semangat. Klaim soal hilangnya aspek pedas dalam maskan ibu ini juga diakui oleh sanak famili, mulai bude,bulek hingga keponakan.

Sesungguhnya catatan ini dibuat bukan untuk menggugat masakan ibu (naudzubillah) tapi sebaliknya seperti sudah saya tegaskan pada kalimat pertama tulisan ini, masakan ibu tetap tak tergantikan. Terkadang banyak aspek untuk menilai suatu masakan termasuk hubungan biologis, memang subjektif sih tapi apa yang salah dari penilaian subkjektif-ku? Toh tidak ada yang dirugikan. Ibu adalah figur yang memasakkan dan menyuapi anaknya hingga mampu mandiri makan dan masak sendiri. Ia tak tergantikan. Semandiri apapun sang anak, ibu tetap memasakkan anaknya sebagi manifestasi kasih sayangnya tanpa batas.

Mengenai cita rasa pedas yang hilang dari masakan ibu, saya cukup mandiri untuk sekedar membuat sambel plelek.

           

                                                                                                Polorejo, 11 Desember 2020

Share:

Sabtu, 29 Februari 2020

Menjadi Pecundang di Pare


Hari ini aku memutuskan untuk pulang kerumah, tidak melanjutkan  studiku di Pare. Keputusan yang mungkin orang menilainya tergesa-gesa, gegabah serta tanpa pertimbangan  matang. Apapun itu, inilah  keputusanku. Diluar diriku pribadi, tidak ada yang salah. Fakta-fakta bahwa aku terlalu malas, tidak cukup effort untuk meng-improve skill bahasaku adalah sedikit dari sekian alasan mengapa aku harus segera pulang ditengah periode belajar yang masih tersisa tiga minggu.
Aku belajar disini ditopang keuangan keluarga, lebih tepatnya ibuku selepas kepergian bapak.  Sesuatu yang tak pantas ditengah kemalasan belajarku. Ditengah usiaku yang tak lagi ABG. Terkadang motivasi, nasihat, masukan-masukan dari kawan dibutuhkan dalam keadaan seperti ini.
Tapi kali ini aku tidak memerlukan itu. sudah terlampau banyak masukan berharga dari kawan-kawan, dari orang-orang yang menyayangiku. Namun faktanya sampai detik ini tak sedikitpun terejawentahkan. Namun setidaknya semua itu masih tersimpan di memori dan sanubari hati.
Aku harus menghukum diriku sendiri, pulang kerumah mengais ekonomi secara mandiri sambil menemani ibu di rumah. Kupikir sudah terlalu lama aku merantau. Selepas tamat SD hidup di pesantren hingga tamat MA setelah itu lima tahun kuliah di Semarang. Selama itu pula aku “nyusu” orang tua.
Sementara aku harus mengubur mimpi-mimpiku untuk menempuh magister hingga menjadi dosen. Seakan pribadi ini membentak diri sendiri. “jangan bermimpi muluk-muluk sebelum kau bisa merubah dirimu menjadi lebih disiplin, mengaplikasikan nasehat-nasehat kecil yang kau anggap klise nan memuakkan itu”.
Walau bagaimanapun Pare mengajarkanku banyak hal, setidaknya orang-orang yang bertahan disini adalah orang-orang yang benar-benar fight. Tidak sepertiku yang memilih menjadi pecundang. Namun dilubuk hati yang paling dalam aku masih berharap dapat terus belajar, mengulik sekecil apapun itu tentang bahasa inggris, khususnya membaca dan mendengar.
Ibu, Bapak maafkan anakmu yang tak bisa menepati janjimu untuk sungguh-sungguh belajar di Pare. Anakmu sadar seribu kali ampunan dan sujud tak akan menghapus dosa ini. Anakmu akan terus berusaha berproses buk, pak. Menjadi manusia yang ibu, bapak inginkan dengan caranya sendiri. Anakmu hanya butuh restumu. Sekali lagi maaf.   
Akhirnya kali ini aku memilih kerasnya kehidupan untuk menasehatiku agar menjadi pribadi lebih baik.
Pare, 1 Maret 2010.
Pecundang


Share:

Kamis, 21 November 2019

Pepeling Pare!

Catatan ini kubuat sehari sebelum aku bertolak ke Pare Kediri. Tepatnya setelah ditanya orang tua perihal finansial selama di sana. Aku jawab sekenanya-apa adanya bahwa aku tidak punya tabungan, bapak menimpali dengan kalimat kekecewaan, dikiranya pasca aku kuliah dan menetap 2-3 bulanan di Semarang untuk menabung. Padahal jujur untuk sekedar bertahan hidup-pun uang hasil les privat itu tidak cukup.
Aku memutuskan “hijrah” ke Pare Kediri untuk les bahasa inggris pasca kuliah S1 ku selesai. 


Ditengah kerentanan hidup,insecurity, tekanan untuk segera bekerja dari keluarga pergi ke Pare mungkin bukan pilihan yang menarirk untuk saat ini, walaupun jika ditanya aku mau jadi apa dan kemana pasca les, aku belum nemu juga jawaban pastinya.
Tapi setidaknya harapanku pasca di Pare aku bisa lebih ringan dan punya kemampuan “lebih” dalam mengakses dan memahami teks-teks inggris, syukur –syukur bisa dapat beasiswa kuliah. Bagaimana jika tidak dapat beasiswa? Ya aku akan cari pekerjaan seadanya aku, akan menabung dan kuliah di kampus dalam kota. Itu saja? iya, sebuah harapan yang sangat tidak financialable ditengah situasi di atas.
Tapi yang jelas catatan pendek ini kubuat untuk kepentingan jangka pendek. Yakni perihal keseriusanku belajar bahasa inggris di Pare. Beberapa faktor yang membuatku harus serius  tekun dan sungguh-sungguh belajar bahasa inggris.

Uang Dari Orang Tua


Biaya selama di Pare tidak murah dan aku bukan orang kaya, maka dari itu selagi orang tuaku masih sanggup membiayaiku, aku harus sunggu h-sungguh dosa besar jika aku tidak disiplin. Ingat aku bukan anak kecil lagi, sebenarnya bukan saatnya lagi  aku minta uang makan ke orang tua! Jadi untuk kali ini jangan sia-siakan kesempatan imi.

OrangTua Sakit

Jika aku mulai malas ,ingatlah bagaimana penderitaan bapakmu menahan sakit, bagaimana ibuku seharian penuh menunggu dan melayani ayahku. Tidak ada alasan buat aku untuk santai-santai dan bermalas-malasan.
  

Pilihanmu Sendiri

Walaupun baligh sudah lama, baru dalam kesempatan ini aku benar-benar memilih dengan pertimbangan serius keputusan pergi ke Pare. Dahulu ketika mengambil jurusan Falak. Tidak ada pertimbangan mendalam memilih jurusan ini selain “ingin beda aja” dari kebanyakan yang lain. Artinya aku berani memilih maka aku harus mempertanggung jawabkan. Dengan apa? Dengan belajar sungguh-sungguh dan tekun!.

Tidak perlu alasan banyak! Catatan ini cukup untuk dibaca sewaktu-waktu jikalau malas mulai melanda. Semoga Tuhan dan semesta merestui. Aamiin.



Share: